Senin, 01 September 2014

KARYA SASTRA DAN BAHASANYA



I.               PENDAHULUAN

1.1         Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang yang menggunakan sastra untuk menunjukan perasaan yang sedang dialaminya, baik dalam bentuk puisi, pantun, cerpen dll. Bahkan dalam keseharian setiap hari banyak juga orang yang tanpa disadarinya menggunakan bahasa sastra tersebut. Namun di sisi lain, apakah mereka mengetahui apa yang dimaksud dengan sastra dan apa perbedaan bahasa sastra dengan  bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, mari kita melihat lebih jauh seperti apa bahasa dalam karya sastra itu.
1.2     Rumusan masalah
Ø  Mengapa bahasa sastra disebut sebagai bahasa khas: retorik, stilistik?
Ø  Bagaimana fungsi bahasa yang disebut puitik dalam teori Jokobson?
Ø  Bagaimana penerapan dan penggarapan teori Jokobson?
Ø  Bagaimana kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson?
Ø  Bagaimana kritik sosiologis terhadap teori Jokobson: Marry Louise Pratt?
Ø  Bagaimana teori sastra Pratt?
Ø  Bagaimana beberapa kesimpulannya?











1.3         Tujuan

Ø  Untuk mengetahui mengapa bahasa sastra disebut sabagai bahasa khas: retorik, stilistik.
Ø  Untuk mengetahui fungsi bahasa yang disbut puitik dalam teori Jokobson
Ø  Untuk mengetahui penerapan dan penggerapan teori Jokobson
Ø  Untuk mengetahui kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson
Ø  Untuk mengetahui kritik sosiologis terhadap teori Jokobson; Marry Louis  Pratt
Ø  Untuk mengetahui teori sstra Pratt
Ø  Untuk mengetahui beberapa kesimpulan













II.          PEMBAHASAN

2.1.       Bahasa  Sastra Sebagai Bahasa Khas: Retorik, Stilistik
Pandangan  bahwa bahasa sasrta adalah bahasa yang khas sudah luas tersebar. Pemakaian bahasa itu dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut ada benarnya. Setiap orang tahu bahwa penyair seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa. Namun tidak semua bahasa puisi menggunakan bahasa yang menyimpang  dari bahasa yang disebut bahasa sehari-hari.
Dalam ilmu sastra sejak dahulu keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra, khususnya dalam puisi, ditonjolkan. Sudah semenjak abad ke-5  dibedakan dua artes (ars adalah kepandaian, teknis ilmiah, sistem aturan; baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggris art berkembang maknanya  menjadi  ‘seni’) yang masing-masing diberi nama  grammatica dan rhetorica; grammatical meliputi recte loquendi  scientia, ilmu untuk berbicara secara tepat, dan poetarum enarratio, semaca ilmuu sastra (Latin,sudah tentu); retorika adalah ars bene dicendi, kepandaian mengatakan  sesuatu secara baik, yang pada awalnya  mengacu pada pengertian  kepandaian orator, tukang pidato (ahli) yang kemudian juga meliputi pemakaian bahasa dalam sastra:  Mulai dari abad ke-4  “elle se confondit avec la notion memede literature” ( Zumthor 1971:50 retorik bercampr bbaur dengan konsep sastra itu sendiri. Jelaslah dari perkembangan retorik ini bahwa sejak dahulu sastra dalam artian yang terbatas tidak dibedakan dari pemakaian bahasa secara baik yang lain.
Sastra menyediakan norma untuk pemakaian bahasa yang baik. Dalam hal ini juga sangat ditekankan aspek pragmatik yang sejak dahulu memainkan pranan penting dalam retorika. Seorang pengacara, negarawan, pendeta, harus mempengaruhi  pendengarnya dengan pemakaian bahasa yang tepat dan baik. Demikian pula penyair harus mengusahakan persuasi  (persuasio); didalamnya dibeda-bedakan 3 aspek: docere (mengajar), delectare ( memberi nikmat), dan movere (menggerakan).  Jelaslah ars bene dicendi tidak terbatas pada penyair  atau pencipta sastra, pengrtian sastra pada waktu itu jauh lebih luas dari yang kita anggap sastra dijaman modern. Licentia poetarum  keleluasaan penyair, segala macam keistimewaan,pemakaian bahasa, perhiasan dll.  Retorika seringkali menjadi sitem normative atau preskriptif, yaitu menentukan norma-norma yang harus di terapkan dalam pemakaian bahasa yang baik dan indah.
Pada jaman modern stilistik seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika  tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa. Pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian  bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri kha seorang penulis, aliran sastra dll. Ilmu gaya bahasa berhasil menentukan  secara cukup tegas,misalnya, pemakaian bahasa seorang penyair atau kelompok penyair.  Stilisti berusaha dan berhasil menetapkan  keistimewaan pemakaian bahasa secara insidental.

2.2.    Fungsi Bahasa yang Disebut Puitik dalam Teori Jakobson
Dalam bab 2 sudah diuraikan bahwa Jakobson dalam model semiotik tentang pemakaian bahasa membedakan  enam fungsi bahasa, satu diantaranya adalah fungsi puitik.jakobson menjelaskan pula fungsi itu tidak biasa terdapat secara terisolasi; dalam pemakaian bahasa manapun  juga satu diantara enam fungsi itu dominan. Tetapi fungsi-fungsi lainpun selalu hadir,secara sampingan. Misalnya kalau terpijak paku saya lalu menjerit “aduh!” mungkin sekali fungsi yang dominan ialah ekspresif atau emotif, menurut istilah jakobson, mengungkapkan rasa sakit, namun adapula fungsi  fatik dalam artian bahwa saya mangadakan  situasi komunikatif  dengan barangsiapa yang kebetulan hadir, fungsi konatif, appeal  ada pula, yaitu saya juga minta perhatian,  atau minta tolong atau mengharapkan rasa sayang dari orang tadi.
Demikanlah dalam pusi (dan sastra umumnya, tetapi Jokobson khususnya membicarakan  puisi sebagai bentuk sastra yang paling khas  dan tipikal) fungsi puitiklah yang dominan. Dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu yang penting tetapi kata pemakaian  bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi. Terutama acuan yang pada prinsipnya  menunjuk pada sesuatu  diluar ungkapan bahasa itu, dalam puisi harus kita ambil dan bina atas dasar kata massage itu saja, misalnya:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku disini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari mengacu pada pembicara, pemakai bahasa itu  yaitu Chairil Anwar, malainkan pada seorang yang ke-aku-annya kita jabarkan  atas bahan sajak ini sendiri. bedasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa Indonesia lepas dari acuan yang konkrit dalam kenyataan (realitas). Demikian pula dengan  binatang, yang dipakai secara metafora,dengan jalang dan dengan sagala macam gejala lain yang kita temui dalam bahasa sajak ini; rima, irama, dll. Oleh karena tidak ada acuan diluar sajak itu yang diketahui  dan disetujui baik oleh pengirim maupun oleh  penerima  pesan (dengan kata lain oleh dominanya fungsi puitik terhadap fungsi referensial), maka puisi mungkin sekali menjadi ambigu,bemakna ganda.
Jokobson kemudian menguraikan: prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi. Dengan rumusan yang cukup terkenal dikatakannya “The poetic function projects the principle of equivalence from the axis of selection into the axis of combination”. (Jokobson 1968:358: fungsi poetic memproyeksikan prinsip ekuivalen dari poros seleksi parataksis, juga boleh disebut paradigmatik, ke poros kombinasi, sintaksis).
Contoh: Plett (1975:129 berdasarkan Wunderlich).  Dalam ungkapan” Horrible Harry!”, pemakai bahasa yang menekan kan fungsi puitik memilih kata horrible diantara sejumlah kata sinonim, misalnya dreadful,terrible,frightful, disgusting, karena adanya ekuivalensi tertentu antara  horrible dengan harry, ekuivalensi bunyi yang biasa disebut aliterasi. Secara skema hal ini dapat digambrkan sebagai berikut :
                        Dreadful
                        Terrible
                        Frightful
                        Disgusting
                        Horrible                                   Harry               poros sintaktik
                        Poros paraktaktik
 Inilah prinip dasar bahasa putik menurut Jakobson.    
2.3.    Penerapan dan Penggarapan Teori Jakobson
Demikian Jakobson dalam banyak studi khas yang mengandung analisis sajak tertentu memperlihatkan apa yang dimaksudkannya dengan prinsip ekuivalensi. Contoh yang terkenal dalam hubungan ini adalah tulisan Jakobson bersama dengan Claude Levi Strauss, seorang antropolog yang terkenal; di dalamnya mereka mengupas sebuah sajak Charles Baudelaire yang berjudul Les Chats (1962).
Dalam tulisan ini sajak tersebut dikupas secara sangat mendetail dengan menunjukkan segala macam ekuivalensi yang terdapat di dalamnya, ekuivalensi bunyi, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan ekuivalensi semantik yang memang berlimpah-limpah dalam sajak tersebut. Kupasan ini merupakan contoh yang sangat baik dan mengesankan tentang apa yang disebut Jakobson the grammar of poetry (Jakobson 1968).
Prinsip ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Disini setiap ulangan konsep tatabahasa yang sama yang dapat diamati, menjadi sarana puisi yang tepat guna.Setiap deskripsi yang tak berprasangka, hati-hati dan menyeluruh, tentang seleksi, pembagian dan keterjalinan berbagai kategori morfologis dan konstruksi sintaksis dalam sajak tertentu mengejutkan si peneliti dengan simetri dan anti simetri yang menarik, struktur yang seimbang, akumulasi yang tepat dari bentuk yang sejajar dan pertentangan yang menonjol, akhirnya dengan pembatasan yang cukup ketat dalam repertoar konstituen morfologis dan sintaksis yang terpakai dalam sajak itu, penyingkiran yang dari segi lain memungkinkan kita untuk mengikuti keterjalinan yang mempesona antara konstituen yang terlaksana. (Jakobson 1968: 602-3).
Perlu dijelaskan sembagai tambahan hal yang ditekankan Jakobson bahwa sebagai variasi terhadap ekuivalensi justru juga sering kali dipakai penyimpangan dari ekuivalensi dan disebut antisimetri, misalnya penyimpangan dari rima atau matra yang diharapkan, yang justru memperkuat efek estetik; disinipun ketegangan antara aturan dan inovasi, antara convention dan invention memainkan peranan yang penting.
Demikian Jakobson mengembangkan teori tentang kekhasan fungi puitik dan prinsip yang mendasari puisi, yang sekaligus menjadi kerangka analisis structural sebuah karya sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan peneliti dari berbagai mazhab atau aliran structural. Karya sastra dianggap sebagai struktur mandiri yang dapat dan harus dianalisis dalam kebulatannya sebagai struktur kebahasaan, tetapi lepas dari acuan pada kenyataan, realitas diluar sajak itu. Sudah tentu Jakobson sendiri tidak pernah lupa bahwa walaupun fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra, namun tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi; dan dalam publikasi lain dalam kerangka yang berbeda, Jakobson menunjukkan relevansi sastra dari segi kemasyarakatan.

2.4.    Kritik Riffaterre atas Pandangan Jakobson
Namun begitu, dan walaupun hasil analisis Jakobson dan kawan-kawannya sering gilang-gemilang, kritik terhadap pendekatan strukturalis yang khusus bersifat linguistic, tak kurang sengitnya. Kritik itu datang dari berbagai pihak, dan bermacam-macamlah sifatnya pan pendekatannya; seringkali dikemukakan bahwa Jakobson hanya memperhatikan aspek linguistic dalam artian yang terbatas saja, dengan mengabaikan aspek-aspek lain: aspek pragmatic dan ekspresif (jadi peranan pembaca dan penulis yang boleh ditiadakan), sedangkan aspek referensial pun menurut beberapa pengkritik oleh Jakobson sangat dianggap enteng. Terutama kritik terakhir ini makin keras, sebab menurut anggapan ini pendekatan Jakobson mengakibatkan penghilangan relevansi sosial karya sastra, dan sastra menjadi sesuatu yang tergantung di awang-awang. Tetapi disini perlu kita perhatikan dua macam kritik yang lebih langsung berhubungan dengan masalah bahasa puisi sebagai bahasa yang khas.
Pertama-tama patut dibicarakan Michael Riffaterre. Dia tidak melawan prinsip strukturalisme sendiri, tetapi dia secara sangat peda mengecam analisi sajak Les Chats seperti diberikan oleh Jakobson dan Levi-Strauss yang dianggapnya penerapan prinsip strukturalisme yang tidak tepat. Riffaterre sendiri adalah guru besar sastra Perancis Columbia University di New York dan dalam karangan yang cukup panjang diberikannya sebuah analisi alternative mengenai sajak yang sama (Riffaterra 1966).
Dalam bahasa itu Riffaterra mengemukakan pendapat bahwa bukan linguislah yang menentukan apa yang relevan dalam sebuah sajak, betapapun halusnya analisi linguistic yang diberikannya. Yang menentukan makna sebuah sajak ialah pembacanya; berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca puisi, dengan segala kemampuan dan pengetahuannya dialah yang dapat menetukan apa yang relevan, dan mempunyai fungsi puitik dalam sajak. Analisis linguistic pada satu pihak tidak cukup dan pada batas lain melampaui batas kemampuanseorang pembaca.
Sajak adalah lebih dari struktur tatabahasa saja tetapi “no grammatical analysis of a poem can give us more than the grammar of the poem”. RIffaterra menonjolkan sajak sebagai sarana komunikasi, yang berfungsi dalam konteks stilistik (istilah RIffaterra) yang sama dengan konteks harapan pembaca. Harapan itu ditentukan oleh segala sesuatu yang pernah dibaca oleh pembaca itu, sehingga sajak mendapat makna dalam konteks keseluruhan puisi Perancis yang ditulis sebelumnya (dalam hal ini sebelum sajak Baudelaire yang bersangkutan).
Peneliti harus membina semacam superreader, sebagai sarana pengupasan: superreader adalah gabungan segala response terhadap sajak yang dapat dikumpulkan, sejauh response itu dilepaskan dari unsure subyektif di luar tindak komunikasi (1966: 203). Riffaterra mengajukan pendekatan yang bersifat semiotic, jadi yang berarti antara lain bahwa pertentangan antara meaning (arti) dan significance (makna) memainkan peranan yang sangat penting, dalam membaca puisi meaning yang kita berikan pada kata harus sesuai dengan mimetic atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance berdasarkan penafsiran pertentangan dengan atau penyimpangan dari arti mimetic yang kita temukan, antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.
Sebab “a poem says one thing and means another” (Riffaterra 1978: 1); kata-kata itu dalam konteks sajak makna, justru kontras dengan arti biasa. Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara arti mimetic unsure bahasa dan makna semiotiknya. Menurut Riffaterra hal itulah yang ditiadakan atau tidak ditonjolkan dalam analisis seperti disajikan oleh Jakobson. Teori Riffaterra kemudian dibulatkannya secara sistimatik dalam buku Semiotics of Poetry (1978) yang sangat mengesankan. Teori Riffaterra oleh Plett (1975: 134) bukan tanpa alasan disebut “eine pragmatische Variante des literature-immanenten Strukturalismus” (varian pragmatic dari strukturalisme yang imanen dalam sastra itu).
2.5.    Kritik Sosiologis Terhadap Teori Jakobson: Mary Louis Pratt.
Kritik lain yang  tak kurang sengit dan mendasar terhadap Jakobson dan semua aliran strukturalis yang menonjolkan fungsi puitik  sebagai ciri khas dengan segala konsekuensinya untuk analisis struktur, diajukan dari pihak lain yaitu dari segi sosiolinguistik. Salah satu contoh disini membicarakan secara singkat pemikiran ahli bahasa Amerika Serikat yang bernama Mary Louis Pratt. Judul bukunya menjelaskan latar belakang  pendekatanya: Toward a Speech Act Theory  of  Literary Discourse (1977). Tuntutan dasar yang diajarkan oleh buku ini: “literary must be viewed as a use rather than a kind of language” (wacana sastra harus dipandang  sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu).
Titik loncat uraiannya, dalam bab kedua bukunya, adalah hasil penelitian Labov, ahli sosiolinguistik yang tenar, khusunya mengenai yang disebut natural narrative, narativ alamiah Labov pernah memberi kupasan yang panjang lebar dari ujaran seseorang sambil omong-omongan secara alamiah dengan dibumbuhi dengan bermacam komentar dan selingan. Dari analisi tersebut dapat dijelaskan bahwa segala ciri yang biasanya dianggap khas terhadap karya sastra terdapat natural narrative yang direkam  dalam situasi ujaran alamiah: koherensi, struktur naratif, point of view, pemakaian unsur bahasa yang khas. Sebagai salah satu contoh naratif alamiah tidak berarti apa-apa, baik secara prinsip maupun secara faktual dan bahasa sehari-hari, segala unsur khas yang terdapat dalam naratif tadi dapat ditemukan pula dalam pemakaian bahasa yang normal. Kesimpilannya: literariness tidak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa.
Akibatnya dalam pandangan Pratt, untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra: “The point of depature gets shifted from the massage...to the addresser, the addressee, and the context” (halaman 74), jadi titik tolak dari penelitian ilmiah bergeser pada pesan kepada pengirim, enerimaan dan konteks; demikieanlah estetika bahasa dikembalikan ketataran yang layak. “there is no such thing as poetic language, there are only poems” (tidak ada sesuatu sepperti bahasa puitik, yang ada hanyalah sajak) (halam 78 kutipan dri Handricks).
Orang dari aliran aliran formalis dan strukturalis tidak suka akan pendekatan dan kesimpulan ini, kata Pratt; mereka suka melepaskan teks kesastraan dari pengarang dan konteksnya, dan dengan demikian menjadilah relevansinya untuk kehidupan kemasyarakatan; tidak seara kebetulanlah ada hubungan pendekatan strukturalis dan formalis dengan art forart’s sake (seni untuk seni), teori Pratt yang harus ditempatkan dalam perkembangan linguistik yang disebut speech act theory dan discourse anlysis, ingin mengambalikan ilmu sastra kepada masyarakat, tempatnya yang wajar:”a socially based, use-oriented linguistics is a pre-requisite toward sealing the breach between formal and sociological approaches to literature (ilmu bahasa yang berdasakan sosial dan yang terarah kepemakaian merupakan prasarana untuk menutup pecahan antara pendekatan sastra yang formal dan yang sosiologik, halaman XIX).
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru (speech atr theori) ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahasa dalam situasi tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan non-verbal (bukan bahasa) berhasil tidaknya pemakaian bahasa sebagai sarana komunikasi. Makna sebuah karya sastra baru dapat kita pahami sebab kita tahu sebelumnya bahwa karya itu adalah karya sastra yang berdasarkan konvensi dan aturan tertentu. “Clearly, it is the reader the massage in a literary speech situation, not  the massage that focuses on in self,” katanya, dan dengan demikian dia eksplisit dan tugas menentang pendirian Jakobson (jelaslah, yang memusatkan perhatian pada pesan situasi ujaran kesastraan ialah si pembaca, bukan pesan itu sendiri, halaman 88).
2.6.    Teori Sastra Pratt
Dalam bukunya Pratt bermaksud meletakkan dasaruntuk “context dependent theory of literature”, sebuah teori sastra yang tergantung pada kontek. Yang dimaksud dengan konteks adalah keadaan sosial artian yang luas, yang mengitari dan memberi tumpuan pada tindak ujaran. Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam komunikasi kesastraan:
a.              Pembaca telah menerima peranan sebagai audience dalam situasi menaggapi pesan sastra; misalnya hak jawab (yang normal dalam komunikasi sehari-hari). Peran audience tidak aktif dalam komunikasi lewat suara, bukan bagian khas dari retorika tulisan rekaan (fiction); peran tersebut merupakan situasi yang lebih umum.
b.             Konvensi kedua yang sangat penting disebut Pratt confention of definitiveness, pre-paration and pre-selection : maksudnya adalah pembaca yang mulai membaca karya sastra telah  tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan. Untuk membuat bacaan tersebut membutuhkan proses penyediaan, penyaringan, pengujian dan pemantapan dengan jaminan nilai, sesuai dengan nilai sastra konvensionalyang berlaku dalam masyarakat, atau dalam kelmpok tertentu dalam masyarakat.
c.              Pratt juga membicarakan panjang lebar tentang ciri-ciri krya sastra yang disebut tellability ;istilah itu bersama, tetapi juga bertentangan, dengan assertability. Assertion adalah pernyataan yang dipakai seseorang sebagai ungkapan yang ditujukan kepada lawan bicaranya dengan maksud membujuk agar lawan bicara mempercayai dan mengetahui sesuatu. Assertability sifat sebuah pesan ynag dianggap menarik, relevan untk disampaikan kepada lawan bicaradengan harapan dan dia bersedia mengatahui dan mempercayainya.
Tellability itu juga menjadi ciri khas sastra walaupun secara ekslusif, dengan dua sifatnya yang khas, yang justru dalam sastra sangat sering digunakan dan dimanfaatkan secara special: detachability, yaitu mudah dilepaskan dari konteks ujaran yang langsung (the immediate speech context) dan susceptibility  to elaboration (rentan untuk diperluas). Berdasarkan pendekatan ini Pratt dengan panjang lebar membahas konvensi-konvensi khas yang berlaku atau diterapkan dalam hal ungkapan yang disebut rekaan. Konvensi yang secara istimewa dapat dipergunakan, dimainkan, diberi fungsi yang khas dalam karya sastra.
Oleh karena itu kita akan tahu bahwa situasi karya rekaan dapat dipertentangkan karya bahasa lain, karena kita tahu syarat-syarat dan sifat-sifatnya sebagai karya rekaan, kita berhasil membacanya dan menafsirkanya secara efektif. Konvensi yang sederhana misalnya : kita tahu bahwa kita harus membedakan antara peran juru kisah (narator) dalam roman dan peran tokok-tokoh yang berbicara, misalnya dalam dialog. Dalam roman tradisional mau tak mau rekaan yang kita hadapi disamakan dengan situasi yang mungkin pernah dialamidalam kenyataan oleh karena itu sifat dan perilaku didasarkan dengan sifat manusia yang ada disekitar kita.
Tetapi didalam roman moder, nouveau roman Prancis misalnya, dan juga dalam roman Indonesia modern, misanya tulisan Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, dalam tulisan roman modern tersebut kita memberi jaminan bahwa yang kita baca harus mempunyai makna yang masuk akal.
Pratt menambahkan bahwa penyimpangan dan anehan yang terdapat dalam roman modern, baik di Barat maupun di Indonesia bukan hanya perkara permainan saja: bukan penyimpangan-penyimpangan itu: untuk penulis roman situasi ujaran yang normal tidak dapat disesuaikan dengan pandangan mereka terhadap pengalaman-pengalaman zaman sekarang ini. Penyimpangan mereka (roman zaman dulu) adalah protes, pernyataan perang terhadap roman biasa yang norma-normanya dianggap terlalu memantapkan establisment memapankan keadaan sosial yang ada. Dalam arti yang cukup lebih daripada hanya permainan formal saja roman modern harus disebut subversif, protes terhadap masyarakat modern yang dianggap buruk dan jahat. Untuk mengembangkan sastra modern kita harus menyadari latar sastra dari segi sosiolinguistik dimana sastra mengalami perkembangan ilmu yaitu ilmu sastra.
2.7.    Beberapa Kesimpulan
Dari berbagai segi, dan dengan alasan yang berbeda-beda  telah dibuktikan secara cukup meyakinkan bahwa fungsi puitik bahasa sendiri  tidak cukup untuk membuktikan sastra sebagai gejala kemasyarakatan dan sebagai cara memakai bahasa yang istimewa.
Culler, (1975:116) dalam bukunya yang berjudul Structuralist poetics mengatakan “tuturan yang  hanya mempunyai arti dalam sangkutannya dengan sistem konvensi yang di kuasai oleh pembaca; dia memakai istilah literary competence, yang dijelaskannya sebagai “a seet of  conventions for reading letarary texts” (seperangkat konvensi untuk membaca teks kesastraan,118). Sastra ialah yang dalam masyrakat tertenu dianggap sastra sesuai dngan konvensi yang pada waktu itu berlaku  dalam masyarakat itu; konvensi itu bermacam-macam sifatnya; ada tyang pragmatik, tentang peran pembaca, ada yang ekspresif tentang peran penulis, adapula yang mimetik yaitu hubungan sastra dengan kenyataan .
Fungsi puitik Jokobson tidak memberi kemungkinan untuk membatasi karya sastra terhadap tulisan atau ungkapan lain, tidak merupakan cirri distinktif sastra terhadap bukan sastra. Pendekatan Jokobson memberi kemungkinan untuk meneliti kekhasan pemakaian bahasa dalam karya-karya yang telah terbuti sifat kesastraannya  dan untuk merincikan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kebahasaan  yang dalam masyarakat itu berlaku untuk sastra. Tidak ada hanya satu deefinisi universal saja tentang sastra. Sastra sebagai gejala kemasyarakatan dapat dikatakan sebagai gejala universal, tidak ada masyarakat manusia tanpa sastra; tetapi aktualisasi, konkretisasi  gejala sastra dalam masyarakat yang berainan memperlihatkan perbedaan  dan berbagai ciri-ciri khas.











III.          PENUTUP

3.1.       Simpulan
Definisi tentang sastra tidak hanya satu yang universal sebab suatu karya akan disebut karya sastra dalam masyarakat tertentu berdasarkan konvensi-konvensi yang dalam masyarakat itu berlaku untuk sastra.

3.2.       Saran
Bagi pembaca diharapkan setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan karya sastra dan bahasanya.
                                   

MAKALAH ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK



I.          PENDAHULUAN
1.1.    Latar belakang
Peserta didik yang dihadapi oleh guru tersebut adalah individu-individu yang unik dan berbeda satu dengan lainnya. Mereka hadir dari berbagai latar belakang, baik sosial, cultural, strata ekonomi, maupun agama yang berbeda. Untuk dapat menghadapi dan membelajarkan perserta didik yang beragam tersebut, maka guru perlu mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik. Dengan begitu berarti guru harus menguasai dan mendalami aspek-aspek perkembangan peserta didik.
1.2.    Rumusan masalah
1.     Apa konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan individu?
2.     Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perserta didik?
3.     Apa saja tugas-tugas yang harus diselesaikan dalam perkembangan individu?
4.     Mencakup apa saja perkembangan fisik anak?
5.     Bagaimana perkembangan intelektual dan bahasa anak?
6.     Bagaimana perkembangan sosial anak?
7.     Bagaimana perkembangan afeksi anak?
8.     Bagaimana perkembangan moral dan agama anak?
1.3.    Tujuan
1.    Mengetahui konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan individu
2.    Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik
3.    Mengetahui tugas-tugas perkembangan individu
4.    Mengetahui pertumbuhan fisik anak
5.    Mengetahui perkembangan inteletual dan bahasa anak
6.    Mengetahui perkembangan sosial anak
7.    Mengetahui perkembangan afeksi anak
8.    Mengetahui perkembangan moral dan agama anak
II.         PEMBAHASAN
2.1.    Konsep Dasar Pertumbuhan dan Perkembangan Individu
Isitilah “perkembangan” (development) dalam psikologi merupakan sebuah konsep yang cukup kompleks. Di dalamnyaterkandung banyak dimensi. Oleh sebab itu, untuk dapat memahami konsep dasar perkembangan, perlu dipahami beberapa konsep lain yang tekandung didalamnya, diantaranya: pertumbuhan, kematangan, dan perubahan.
2.1.1.   Perkembangan
Perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar. Perkembangan menghasilkan bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas sederhana ke tahap yang lebih tinggi. Perkembangan itu bergerak secara berangsur-angsur tapi pasti, melalui suatu bentuk/tahap ke bentuk/tahap berikutnya, yang kian hari kian bertambah maju, mulai dari masa pembuahan dan berahir pada kematian.
2.1.2.   Petumbuhan
Pertumbuhan dalam konteks perkembangan merujuk perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu peningkatan dalam ukuran dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, kepala, jantung, paru-paru, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak tepat jika kita misalnya mengatakan pertumbuhan ingatan, pertumbuhan berfikir, pertumbuhan kecerdasan, dan sebagainya, sebab kesemuanya merupakan perubahan fungsi-fungsi rohaniah. Demikian juga tidak tepat kalau dikatak pertumbuhan kemampuan berjalan, pertumbuhan menulis, pertumbuhan penginderaan, dan sebagainya, sebab kesemuanya merupakan perkembangan fungsi-fungsi jasmaniah.
Pertumbuhan fisik meningkat, menetap, dan kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia. Ini berarti bahwa pertumbuhan fisik ada puncaknya. Sesudah suatu masa tertentu, fisik mulai mengalami kemunduran dan berakhir pada kerunthan di hari tua, dimana kekuatan dan kesehatannya berkurang, pancaindra menjadi lemah atau lumpuh sama sekali. Berbeda halnya dengan perkembangan aspek mental atau psikis yang relative berkelanjutan, sepanjang individu yang bersangkutan tetap memeliharanya.
2.1.3.   Kematangan
Pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani yang disebutkan diatas, sebenarnya merupakan satu kesatuan dalam diri manusia yang saling mepengaruhi satu sama lain. Laju perkembangan rohani dipengaruhi oleh laju pertumbuhan jasmani, demikian pula sebaliknya. Pertumbuhan dan perkembangan itu pada umumnya berja;an selaras dan pada tahap-tahap tertentu menghasilkan suatu “kematangan”, baik kematangan jasmani maupun kematangan mental.
Kematangan mula-mula merupakan suatu hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktur pada diri individu, seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, saraf, dan kelenjar-kelenjar yang disebut kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikisyang meliputi keadaan-keadaan berpikir, rasa kemauan, dan lain-lain, serta kematangan pada aspek psikis ini yang memerlukan latihan-latihan tertentu. Misalnya anak yang baru berusia lima tahun dianggap masih belum matang untuk menangkap masalah-masalah yang bersifat abstrak, oleh karena itu, anak yang bersangkutan belum bisa diberikan matematika dan angka-angka. Pada usia empat bulan, seorang anak belum matang didudukan, karena berdasarkan penelitian bahwa kemampuan leher dan kepalanya belum mampu tegak. Usaha pemaksaan terhadap kecepatan tibanya masa kematangan yang terlalu awal akan mengakibatkan kerusakan atau kegagalan dalam perkembangan tingkah laku individu yang bersangkutan.
2.1.4.   Perubahan
          Perkembangan mengandung perubahan-perubahan, tetapi bukan berarti setiap perubahan bermakna perkembangan. Perubahan-perubahan itu tidak pula mempengaruhi proses perkembangan sseseorang dengan cara yang sama. Perubahan-perubahan dalam perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup. Untuk mencapai tujuan ini, realisasi diri atau yang biasanya disebut dengan “aktualisasi diri” merupakan faktor yang sangat penting. Tujuan ini dapat dianggap sebagai suatu dorongan untuk melakukan sesuatu yang tepat, untuk menjadi manusia seperti yang diinginkan baik secara fisik maupun psikis.
2.2.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Perkembangan Peserta Didik
2.2.1.   Dalam Pertumbuhan
Ada sejumlah faktor yang memengaruhi pertumbuhan fisik individu, yaitu sebagai berikut
1.         Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam individu. Termasuk ke dalam faktor internal ini adalah sebagai berikut:
a.    Sifat jasmaniah yang diwariskan dari orang tuanya
Anak yang ayah dan ibunya betubuh tinggi cenderung lebih lekas menjadi tinggi dari pada anak yang berasal dari orang tua bertubuh pendek.
b.    Kematangan
Secara sepintas, pertumbuhan fisik seolah-olah seperti sudah direncanakan oleh faktor kematangan. Meskipun anak itu diberi makanan bergizi tinggi, tetapi kalau saat kematangan belum sampai, pertumbuhan akan tertunda.
2.         Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar luar diri anak. Termasuk ke dalam faktor eksternal adalah sebagai berikut:
a.    Kesehatan
Anak yang sering sakit-sakitan pertumbuhan fisiknya akan terhambat.
b.    Makanan
Anak yang kurang gizi pertumbuhannya akan terhambat, sebaliknya yang cukup gizi pertumbuhannya pesat.
c.    Stimulasi lingkungan
Individu yang tubuhnya sering dilatih untuk meningkatkan percepatan pertumbuhannya akan berbeda dengan yang tidak pernah mendapat latihan.
2.2.2.   Dalam Perkembangan
1.    Faktor Internal
a.    Bakat atau pembawaan
Anak dilahirkan dengan membawa bakat-bakat tertentu.
b.    Sifat-sifat tertentu
Sifat-sifat keturunan yang individu dipusakai dari orangtua atau nenek moyang dapat berupa fisik dan mental.
c.    Dorongan dan instink
Dorongan adalah kodrat hidup yang mendorong manusia melaksanakan sesuatu atau bertindak pada saatnya. Sedangkan instink atau naluri adalah kesanggupan atau ilmu tersembunyi yang menyuruh atau membisikkan manusia bagaimana cara-cara melaksanakan dorongan batin.



2.    Faktor Eksternal
a.    Makanan
Dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi sehat dan kuat, perlu memperhatikan makanannya.
b.    Iklim
Sifat-sifat iklim, alam dan udara mempengaruhi pula sifat-sifat individu dan jiwa bangsa yang berada dalam iklim yang bersangkutan
c.    Kebudayaan
Latar belakang budaya bangsa sedikit banyak mempengaruhi perkembangan seseorang
d.    Ekonomi
Orang tua yang ekonominya lemah, yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok anak-anaknya dengan baik, sering kurang memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya.
e.    Kedudukan anak dalam lingkungan keluarga
Bila anak itu merupakan anak tunggal, biasanya perhatian orang tercurah kepadanya, sehingga ia cenderung memiliki sifat manja. Sebaliknya, seorang anak yang memiliki banyak saudara, jelas orang tua sibuk membagikan perhatian terhadap saudara-saudaranya. Oleh sebab itu anak kedua, ketiga, dan seterusnya memiliki perkembangan yang lebih cepat dibandingkan anak yang pertama.
2.3.    Tugas-Tugas Perkembangan Individu
2.3.1.   Pengertian
Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau fase perkembangan. Setiap fase perkembangan mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh setiap individu. Sebab, kegagalan melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu berakibat tidak baik bagi pada fase berikutnya. Sebaliknya, keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu akan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Tugas-tugas perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat bermanfaat bagi individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1.    Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu.
2.    Memberika motivasi pada setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupannya.
3.    Menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka jika nantinya akan memasuki tingkat perkembangan berikutnya.
Tiga bahaya potensial yang menjadi penghambat penyelesaian tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1.    Harapan-harapan yang kurang tepat, baik individu maupun lingkungan sosial mengharapkan perilaku di luar kemampuan fisik maupun psikologis
2.    Melangkahi tahap-tahap tertentu dalam perkembangan sebagai akibat kegagalan menguasai tugas-tugas tertentu.
3.    Adanya krisis yang dialami individu karena mengalami satu tingkatan ke tingkatan yang lain.
2.3.2.   Jenis Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
1.    Mencapai hubungan baru yang lebih matang denga teman sebaya baik pria maupun wanita
2.    Mencapai peran sosial pria dan wanita
3.    Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan secara efektif
4.    Mencari kemadirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
5.    Mencapai jaminan kebebasan ekonomis
6.    Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan
7.    Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga
8.    Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan
9.    Mencapai dan mengharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
10. Memperoleh suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku.
2.3.3.   Tugas Perkembangan Remaja Berkenaan dengan Kehidupan Berkeluarga
Secara teoritis, masa remaja dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase pertama adalah pubertas dan fase kedua adalah adolesens. Fase pertama menitikberatkan pada perkembangan fisik dan seksual, serta pengaruhnya terhadap gejala-gejala psikososial. Sedangkan fase kedua menitikberatkan pada aspek nilai-nilai, moral, pandangan hidup, dan hubungan kemsyarakatan (Siti Rahayu Haditono, 1991)
2.3.4.   Implikasi Tugas-Tugas Perkembangan Remaja bagi Pendidikan
Tugas perkembangan remaja harus dapat diselesaikan dengan baik, karena akan membawa implikasi penting bagi penyelenggaraan pendidikan dalam rangka membantu remaja tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.    Sekolah dan perguruan tinggi perlu memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan-kegiatan nonakademik melalui berbagai perkumpulan.
2.    Apabila ada remaja putra atau putri bertingkah laku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, mereka perlu dibantu melalui bimbingan dan konseling.
3.    Siswa yang lambat perkembangan jasmaninya diberi kesempatan berlomba dalam kegiatan kelompoknya.
4.    Pemberian bantuan kepada siswa untuk memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keinginannya, sesuai dengan sistem kemasyarakatan yang dianutnya, dan membantu siswa mendapatkan pendidikan yang bermanfaat untuk mempersiapkan diri memasuki pekerjaan.
2.4.    Pertumbuhan Fisik Anak
Pertumbuhan adalah suatu proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu dan berlangsung dalam periode tertentu. Perubahan ini bersifat kuantitatif dan dan berkisar hanya pada aspek-aspek fisik individu. Oleh sebab itu, secara terminologis, sebenarnya tanpa ada tambahan kata fisik pun, hanya dengan istilah pertumbuhan saja, sudah bermakna perubahan pada aspek-aspek fisiologis.
2.4.1.   Karakteristik Pertumbuhan Fisik Remaja
Pesatnya pertumbuhan fisik pada masa remaja sering menimbulkan kejutan pada diri remaja itu sendiri. Pakaian yang dimilikinya seringkali menjadi cepat tidak muat dan harus membeli yang baru lagi. Kadang-kadang remaja dikejutkan dengan perasaan bahwa tangan dan kakinya terlalu panjang sehingga tidak seimbang dengan besar tubuhnya. Pada remaja putri ada perasaan seolah-olah belum dapat menerima kenyataan bahwa tanpa dibayangkan sebelumnya kini buah dadanya membesar. Oleh karena itu, seringkali gerak-gerik remaja menjadi serba canggung dan tidak bebas. Gangguan dalam bergerak yang disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan fisik pada remaja ini dikenal dengan istilah gangguan regulasi.
Pada remaja pria, pertumbuhan lekum menyebabkan suara remaja itu menjadi parau untuk beberapa waktu dan akhirnya turun satu oktaf. Pertumbuhan kelenjar endoktrin yang telah mencapai taraf kematangan sehingga mulai berproduksi menghasilkan hormone bermanfaat bagi tubuh. Akibatnya, remaja mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya. Pada waktu tidur, karena ketertarikan kepada lawan jenisyang disebabkan oleh berkembangnya hormone mengakibatkan remaja pria sering mengalami mimpi basah.
Disisi lain, perkembangan hormon pada remaja putrid menyebabkan mereka mulai mengalami menstruasi yang seringkali pada awal mengalaminya menimbulkan kegelisahan. Berproduksinya kelenjar hormon pada sementara remaja juga dapat menyebabkan timbulnya jerawat pada bagian wajahnya yang seringkali menimbulkan kegelisahan pada mereka, lebih-lebih pada remaja putri. Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja sangat membutuhkan zat-zat pembangun yang diperoleh dari makanan sehingga remaja pada umumnya menjadi pemakan yang kuat.
2.4.2.   Upaya Membantu Pertumbuhan Fisik dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Dalam batas-batas tertentu, percepatan pertumbuhan fisik dapat dibantu dengan berbagai usaha atau stimulasi secara sistematis, antara lain sebagai berikut:
1.    Menjaga kesehatan badan
2.    Member makanan yang baik
Implikasi bagi pendidikan adalah perlunya memperhatikan faktor-faktor berikut:
a.    Sarana dan prasarana
b.    Waktu istirahat
c.    Diadakannya jam-jam olahraga bagi para siswa
2.5.        Perkembangan Intelektual dan Bahasa Anak
2.5.1.   Perkembangan Intelektual
Jean Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi perkembangan intelek menjadi empat tahapan sebagai berikut:
1.    Tahap sensori-motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini anak berada dalam suatu masa yang ditandai oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang sangat jelas. Segala perbuatan merupakan perwujuan dari proses pematangan aspek sensori-motoris tersebut.

2.         Tahap praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif.
3.         Tahap operasional konkret
Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya.
4.         Tahap operasional formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keselurhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
Karakteristik perkembangan intelektual
1.         Karakteristik tahap sensori-motoris
Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:
a.    Segala tindakannya masih bersifat naluriah
b.    Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indera
c.    Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu untuk mengategorikan pengalaman.
d.    Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema sensori-motorisnya.
2.         Karakteristik tahap praoperasional
Ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:
a.    Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi
b.    Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide
c.    Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum lengkap
d.    Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku:
1)    Berpikir imajinatif
2)    Berbahasa egosentris
3)    Memiliki aku yang tinggi
4)    Menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi, dan
5)    Perkembangan bahasa mulai cepat
2.5.2.   Perkembangan Bahasa Anak
Dilihat dari perkembangan umur kronologis yang dikaitkan dengan perkembangan kemampuan berbahasa individu, tahapan perkembangan bahasa dapat dibedakan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1.    Tahap pralinguistik atau meraban (0,3-1,0 tahun)
Pada tahap ini anak mengeluarkan bunyi ujaran dalam bentuk ocehan yang mempunyai fungsi komunikasi
2.    Tahap holofrastik atau kalimat satu kata (1,0-1,8 tahun)
Pada usia sekitar 1 tahun anak mulai mengucapkan kata-kata. Satu kata yang diucapkan oleh anak-anak harus dipandang sebagai satu kalimat penuh mencakup aspek intelektual maupun emosional sebagai cara untuk menyatakan mau tidaknya terhadap sesuatu.
3.    Tahap kalimat dua kata (1,6-2,0 tahun)
Pada tahap ini anak mulai memiliki banyak kemungkinan untuk menyatakan kemauannya dan berkomunikasi dengan menggunakan kalimat sederhana yang disebut dengan istilah “kalimat dua kata” yang dirangkai secara tepat.



4.    Tahap pengembangan tata bahasa awal (2,0-5,0 tahun)
Pada tahap ini anak mulai mengembangkan tata bahasa, panjang kalimat mulai bertambah, ucapan-ucapan yang dihasilkan semakin kompleks, dan mulai menggunakan kata jamak.
5.    Tahap pengembangan tata bahasa lanjutan (5,0-10,0 tahun)
Pada tahap ini anak semakin mampu mengembangkan struktur tata bahasa yang lebih kompleks lagi serta mampu melibatkan gabungan kalimat-kalimat sederhana dengan komplementasi, relativasi, dan konjungsi.
6.    Tahap kompetensi lengkap (11,0 tahun – dewasa)
Pada akhir masa kanak-kanak, perbendaharaan kata terus meningkat, gaya bahasa mengalami perubahan, dan semakin lancar serta fasih dalam berkomunikasi. Keterampilan dan performasi bahasa terus berkembang kearah tercapainya kompetensi berbahasa secara lengkap sebagai perwujudan dari kompetensi komunikasi.
2.6.     Perkembangan Sosial Anak
2.6.1. Hubungan dengan Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memiliki peranan penting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikologi anak dalam konteks sosial yang lebih luas. Untuk dalam, dalam memahami perkembangan psikososial peserta didik, perlu dipelajari bagaimana hubungan anak dengan keluarga.
1.         Karakteristik hubungan anak sekolah dengan keluarga
Masa usia sekolah dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan sosial mereka yang sesungguhnya. Bersamaan dengan maksudnya anak ke sekolah dasar, maka terjadilah perubahan hubungan anak dengan orang tua. Perubahan tersebut diantaranya disebabkan adanya peningkatan penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya.
Hubungan orang tua dan anak akan berkembang dengan baik apabila kedua pihak saling memupuk keterbukaan. Berbicara dan mendengarkan merupakan hal yang sangat penting. Perkembangan yang dialami anak sama sekali bukan alasan untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan di masa kecilnya. Hal ini justru akan membantu orang tua dalam menjaga tgerbukanya jalur komunikasi.
Pada periode ini, orangtua dan anak-anak telah memiliki sekumpulan pengalaman masa lalu bersama, dan pengalaman ini membuat hubungan keluarga menjadi bertambah unik dan penuh arti.
2.         Karakteristik hubungan remaja dengan keluarga
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orangtua-remaja. Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang memengaruhi relasinya dengan orangtua adalah perjuangan anak untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis.
Beberapa peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Dengan demikian, keterikatan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis.
2.6.2.   Hubungan dengan Teman Sebaya
Teman sebaya mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orangtua. Teman bisa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebaya. Berikut akan diuraikan beberapa aspek perkembangan hubungan peserta didik dengan teman sebayanya:
1.    Karakteristik hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak.
2.    Pembentukan kelompok
Pada masa ini anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan keluarga. Hal ini terjadi karena anak memiliki keinginan untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
3.    Popularitas, penerimaan sosial, dan penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara.
2.6.3.   Persahabatan
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau yang dalam kajian psikologi perkembangan disebut dengan istilah friendship (persahabatan).
1.         Karakteristik hubungan remaja dengan teman sebaya
Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan  kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts. Erikson (1968) memandang tren perkembangan ini dari perspektif normative-life-crisis, di mana teman memberikan feedback dan informasi yang konstruktif tentang self definition dan penerimaan komitmen.

2.6.4.   Hubungan dengan Sekolah
Bagi seorang anak, memasuki dunia sekolah merupakan pengalaman yang menyenangkan, namun sekaligus mendebarkan, penuh tekanan, dan bahkan bisa menyebabkan timbulnya kecemasan. Bagi banyak anak, pengalaman masuk sekolah merupakan masuk sekolah merupakan saat-saat pertama bagi mereka menyesuaikan diri dengan pola kelompok, yang diatur oleh satu orang dewasa, yaitu guru. Dunia sekolah jelas berbeda dengan dunia rumah, dimana anak-anak harus mengikuti aturan main yang ditetapkan sekolah melalui guru.
2.7.           Perkembangan Afeksi atau Emosi Anak
Emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Respons demikian terjadi baik terhadap perangsang-perangsang eksternal maupun internal (Soegarda Poerbakawatja, 1982). Dengan definisi ini jelas perbedaan antara emosi dengan perasaan, bahkan disini tampak jelas bahwa perasaan termasuk ke dalam emosi atau menjadi bagian dari emosi.
2.7.1.     Bentuk-Bentuk Emosi
1.     Amarah, meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar, dsb.
2.     Kesedihan, meliputi pedih, sedih, muram, suram, depresi, dsb.
3.     Rasa takut, meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, panic, dsb
4.     Kenikmatan, meliputi bahagia, riang, senang, gembira, dsb.
5.     Cinta, meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, dsb.
6.     Terkejut, meliputi terkesiap, takjub, dan terpana
7.     Jengkel, meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dsb
8.     Malu, meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.


2.7.2.      Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku
Melalui teori kecerdasan emosional yang dikembangkannya, Daniel Goleman (1995) mengemukakan sejumlah ciri utama pikiran emosional sebagai bukti bahwa emosi memainkan peranan penting dalam pola berpikir maupun tingkah laku individu. Adapun ciri utama pikiran emosional tersebut adalah sebagai berikut:
1.         Respons yang cepat tetapi ceroboh
2.         Mendahulukan perasaan kemudian pikiran
3.         Memperlakukan realitas sebagai realitas simbolik
4.         Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
5.         Realitas yang ditentukan oleh keadaan
2.7.3.   Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya diarasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri, maupun bagi keluarga atau lingkungannya. Adapun karateristik berbagai periode dipaparkan berikut ini:
1.      Periode Praremaja
       Perubahan yang terjadi di awal masa pubertas disertai sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan respons mereka biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-meledak.
2.      Periode Remaja Awal
       Control terhadap dirinya bertambah sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemesan kepada dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak wajar.
3.      Periode Remaja Tengah
       Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang sering juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk.
4.      Periode Remaja Akhir
Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagau orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka.
2.8.        Perkembangan Moral dan Agama Anak
2.8.1.   Perkembangan Moral
Menurutu Kohlberg tingkatan perkembangan moral sebagai berikut:
1.    Prakonvensional moralitas
Pada level ini ana mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman).
2.    Konvensional
Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas tau kelompok sebaya
3.    Pasca Konvensional
Pada level ini aturan dan konstitusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak mentaati aturan untuk menghindari hukuman kata hati.






2.8.2.   Perkembangan Agama
Perkembangan agama menurut Fowler adalah sebagai berikut:
1.    Tahap intuitive-projective faith
Berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan.
2.    Tahap mythic-literal faith
Dimulai dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini sesuai dengan perkembangan kognitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakat.
3.    Tahap synthetic-conventional faith
Terjadi pada usia 12- akhir masa remaja atau awal usia dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran
4.    Tahap individuative-reflective faith
Terjadi pada usia 19 tahun atau masa dewasa awal. Mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.
5.    Tahap conjunctive-faith
Dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama.










III.        PENUTUP
3.1.    Simpulan
Dari uraian pada bab2 dapat disimpukan bahwa aspek-aspek peserta didik tersidiri dari: konsep dasar pertumbuhan  dan perkembangan individu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, tugas-tugas perkembangan individu, pertumbuhan fisik anak, perkembangan intelektual dan bahasa anak, perkembangan sosial anak, perkembangan afeksi anak, dan perkembangan moral dan agama anak.
3.2.    Saran
Untuk dapat tampil menjadi guru yang ideal, memang tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan atas materi atau ilmu yang diajarkan. Sebab dalam konteks pembelajaran, bahan atau materi pembelajaran hanya merupakan perangsang tindakan guru dalam memberikan dorongan belajar yang diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. Karena itu, seorang guru harus membekali diri dengan sejumlah pengetauan dan keterampilan lain yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Ini sangat penting karena guru dalam profesinya tidak berhadapan dengan benda mati melainkan berhadapan dengan manusia yang disebut dengan peserta didik. 



DAFTAR PUSTAKA

Desmita.2009.Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori.2012.Psikologi Remaja.Bandung:PT Bumi Aksara