Jumat, 15 Mei 2015

RASISME PADA NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA



RASISME PADA NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA
Oleh
Nur Hidayati
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Abstrak
Pada dasarnya rasisme adalah pandangan hidup (way of life, Anschauung) yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Rasisme juga banyak terdapat dalam sastra. Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang disaksikan, dialami dalam proses kehidupan, serta apa yang direnungkan atau dipikirkan. Jadi hakikat sastra merupakan suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa. Gagasan rasisme bila dihubungkan dengan wacana, asosiasinya akan jelas, yaitu mempermasalahkan tentang adanya diskrimasi, prasangka, perbudakan atau apherteid, adanya dominasi, dan adanya kesenjangan etnis atau ras. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah novel romantis yang berlatar pada zaman kolonial Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia masih memegang teguh dan menjunjung tinggi adat istiadat. Zainuddin merupakan orang Bugis dan Hayati orang Padang. Perbedaan ini yang membuat hubungan mereka ditentang oleh orang tua Hayati.
Kata kunci: Rasisme, suku, dan adat.
A.      Pendahuluan
a.         Latar  Belakang
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.
Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe). Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida.
Rasisme juga banyak terdapat dalam sastra. Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang disaksikan, dialami dalam proses kehidupan, serta apa yang direnungkan atau dipikirkan. Jadi hakikat sastra merupakan suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa. Yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri serta menaruh minat pada sesama manusia, untuk menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkannya sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk sebagai bentuk, artinya bahwa setiap manusia senang pada sesuatu yang konkrit, riil, dan yang bisa dipegang. Sastra lahir sebagai dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan kodrat insani sebagai manusia.
Salah satu novel yang mengandung unsur rasis didalamnya yaitu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel tersebut menceritakan kisah cinta antara dua manusia yang terpisah oleh adat. Penulis memilih novel ini karena novel ini mengangkat kisah cinta yang kental akan budaya. Tokoh lelaki yang terusir dari tanah dimana ayahnya lahir menjadikan dia termotivasi menjadi manusia yang sukses agar tidak ada lagi yang mendiskriminasi dia.
b.        Rumusan Masalah
Bagaimana tindakan rasis yang ada pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?
c.         Tujuan
Mengetahui tindakan rasis yang ada pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
B.       Landasan Teori
a.         Rasisme
Pada dasarnya rasisme adalah pandangan hidup (way of life, Anschauung) yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Dalam arti manusia yang mempunyai ras rendah. Oleh karena itu, mereka yang memiliki ras rendah layak dimusnahkan, diperbudak atau diperlakukan tidak manusiawi.
Gagasan rasisme mempermasalahkan tentang adanya diskrimasi, prasangka, perbudakan atau apherteid, adanya dominasi, dan adanya kesenjangan etnis atau ras. Selain itu ada yang disebut rasisme komtemporer, yaitu rasisme yang terbentuk karena dominasi para elit birokrasi, elit perusahaan, elit media, elit pendidikan, dan elit gelar. Biasanya para elit itu berupaya mengontrol  dimensi-dimensi dan keputusan-keputusan tentang kehidupan sehari-hari kaum imigran dan kaum minoritas, misalnya tentang posisi tempat masuk, tempat tinggal, pekerjaan, perumahan, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, pengetahuan, informasi, dan budaya.
Rasisme mempunyai satu basis ideologis. Seperti suatu format ketidaksamaan kekuasaan dalam masyarakat. Rasisme juga perlu didefinisikan dalam kaitannya dengan berbagai jenis praktik kemasyarakatan, wacana seperti itu bersifat membedakan interaksi, pada taraf mikro, melalui analisis dengan pengaturan kelembagaan, struktur organisasi, dan golongan hubungan dari kekuatan penyalahgunaan kekuasaan.
Rasisme adalah satu sistem kesenjangan kemasyarakatan yang kompleks paling tidak mengombinasikan komponen berikut: a) secara ideologi berlandaskan penyajian kelompok masyarakat; b) model mental anggota kelompok etnis tertentu; c) sehari-hari membedakan wacana dan praktik kemasyarakatan; d) struktur kelembagaan dan aktivitas organisasi; e) hubungan kekuatan antara kelompok dominan (kulit putih), dan kelompok minoritas (kesukuan).
Tanpa kondisi kompleks, kerangka multidsiplin  mustahil dapat memahami struktur dan fungsi pembicaraan kelompok elit di dewan perwakilan rakyat Eropa, dan menganalisis fungsi sistem keseluruhan untuk membahas kesenjangan yang terjadi di masyarakat Eropa termasuk dasar-dasar ideologi mereka. Kajian ini hanya menyoroti beberapa fitur rasisme dan gambaran hubungan antara pengamatan ras, yaitu ideologi di satu pihak dan politik di pihak lain.
C.      Pembahasan
a.         Rasisme Berdasarkan Suku dan Adat
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah novel romantis yang berlatar pada zaman kolonial Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia masih memegang teguh dan menjunjung tinggi adat istiadat. Adat yang diagungkan membuat hubungan Zainuddin dan Hayati tidak bisa bersatu. Zainuddin merupakan orang Bugis dan Hayati orang Padang. Perbedaan ini yang membuat hubungan mereka ditentang oleh orang tua Hayati.  Zainuddin mengalami deskriminasi karena dia bukan keturunan asli Padang. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan tokoh Zainuddin mengalami tindakan rasis.
Kutipan 1:
Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang dan, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir ditengah gurun yang luas keputusan air, tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas! (Hamka, 2002: 33).
Kutipan ini menunjukkan keluh kesah Zainuddin tentang nasibnya. Bangsa Bugis adalah bangsa yang menjunjung tinggi sosok Ayah dan bangsa Padang adalah bangsa yang menjunjung tinggi sosok Ibu. Ayah Zainuddin orang Padang sedangkan ibunya orang Bugis. Hal ini yang membuat Zainuddin tidak jelas asal-usulnya. Di Mengkasar Zainuddin merasa kesepian karena masyarakat menganggap dia orang Padang. Dengan alasa itu ia pindah ke Padang karena Zainuddin penasaran dengan tanah kelahiran ayahnya. Namun, setelah samapai di Pandang dia kembali kecewa karena orang Padang juga menganggap Zainuddin orang asing.
Kutipan ke-2:
Disini saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.”
Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanya. Lalu dia berkata: “mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?”
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum berkerabat, dia bukan sembarang orang.” (Hamka, 2002: 50)
“Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai.”
“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati  jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. (Hamka, 2002: 51)
Kutipan di atas menggambarkan kisah cinta Zainuddin dan Hayati yang ditentang oleh sesepuh suku Padang dimana sesepuh tersebut adalah paman Hayati. Zainuddin mendapatkan tindakan rasis karena Zainuddin bukan keturunan asli Padang. Datuk mengusir Zainuddin karena tidak ingin hubungan Zainuddin dengan Hayati berlanjut. Datuk mengagungkan suku, adat dan kebahagiaan Hayati sebagai alasan untuk mengusir Zainuddin. Zainuddin yang menyayangi Hayati setuju untuk pergi dari Batipuh karena dia tidak ingin Hayati menderita.
Kutipan ke-3:
Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: “Lebih baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang banyak sekali. Tadi sore Mande mendengar beberapa anak muda hendak jahat kepadamu.” (Hamka, 2002: 54)
Bukan hanya mamak Hayati yang menentang hubungan Zainuddin dengan Hayati tapi pemuda di Desa Batipuh juga tidak suka dengan hubungan mereka. Khawatir akan teror yang akan dilakukan pemuda desa, Mande Jamilah menyuruh Zainuddin cepat pergi dari Batipuh. Meski Mande Jamilah mengizinkan Zainuddin tinggal di rumahnya karena uang tapi Mande Jamilah juga khawatir pada Zainuddin.
Kutipan ke- 4:
Datuk melenggongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanya bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak Tengah Limah menjawab bahwasannya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang Mengkasar itu.
Yang hadir tercengang-cengang. Mamak Daruk garang merah matanya mendengarkan perkataan Limah seraya berkata: “membuat malu, hendak menginjak kepala ninik mamak. Bagaiman akan bisa seorang Mengkasar, seorang Bugis, akan diterima menjadi menantu.”
“Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.
“Lebih   baik dia mati, senang kita; daripada dia memberi malun ninik mamak, merusak adar dan lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dean menggoreskan malu di muka kita?”.
Mendengar itu tidak ada yang berani menjawab perkataannya, Limah pun terdiam (Hamka, 2002: 103).
Zainuddin mengirim surat pada Mamak Datuk Garang dengan tujuan melamar Hayati. Di waktu sama datang pula lamaran dari deorang pemuda asli padang yang keluarganya cukup disegani oleh orang padang bernama Aziz. Sesuai adat, ninik mamak Hayati melakukan musyawarah untuk memilih siapa yang akan diterima sebagai calon menantu. Zainuddin yang hanya orang biasa, tidak jelas sukunya dianggap tidak pantas untuk Hayati. Keluarga Hayati lebih memilih Aziz. Aziz adalah keturunan asli Padang, jelas asal usulnya, dan terlahir dari keluarga terhormat.
b.        Rasisme Berdasarkan Status Sosial Ekonomi
Menurut W.S Winke (1991) status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tokoh Zainuddin pada mulanya merupakan seseorang yang status sosialnya rendah. Hal ini juga menjadi faktor penyebab Zainuddin mengalami tindakan rasis. Berikut kutipannya.
“Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”. (Hamka, 2002: 53)
Hayati yang mengetahui bahwa Zainuddin di usir oleh mamaknya berusaha membela Zainuddin. Namun mamak Hayati bersikukuh pada pendapatnya bahwa Zainuddin tidak pantas untuk Hayati. Zainuddin merupakan orang tidak mampu sehingga mamak Hayati merendahkan Zainuddin dan mengusirnya dari Batipuh.


D.      Penutup
a.         Simpulan
1.        Rasisme Berdasarkan Suku dan Adat
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah novel romantis yang berlatar pada zaman kolonial Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia masih memegang teguh dan menjunjung tinggi adat istiadat. Adat yang diagungkan membuat hubungan Zainuddin dan Hayati tidak bisa bersatu.
 “Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum berkerabat, dia bukan sembarang orang.” (Hamka, 2002: 50)

“Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai.”

Kutipan di atas menggambarkan kisah cinta Zainuddin dan Hayati yang ditentang oleh sesepuh suku Padang dimana sesepuh tersebut adalah paman Hayati. Zainuddin mendapatkan tindakan rasis karena Zainuddin bukan keturunan asli Padang. Datuk mengusir Zainuddin karena tidak ingin hubungan Zainuddin dengan Hayati berlanjut. Datuk mengagungkan suku, adat dan kebahagiaan Hayati sebagai alasan untuk mengusir Zainuddin. Zainuddin yang menyayangi Hayati setuju untuk pergi dari Batipuh karena dia tidak ingin Hayati menderita.
2.        Rasisme Berdasarkan Status Sosial Ekonomi
Menurut W.S Winke (1991) status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki.
“Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”. (Hamka, 2002: 53)
Hayati yang mengetahui bahwa Zainuddin di usir oleh mamaknya berusaha membela Zainuddin. Namun mamak Hayati bersikukuh pada pendapatnya bahwa Zainuddin tidak pantas untuk Hayati. Zainuddin merupakan orang tidak mampu sehingga mamak Hayati merendahkan Zainuddin dan mengusirnya dari Batipuh.

Daftar Pustaka
Darma,Yoce ali. 2009. Analisis Wacana Kritis.Yogyakarta:Yrama Widya.
Hamka. 2002. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang.
Sari, Dini Komala. 2014. Definisi Status Ekonomi dalam (http://dinikomalasari.wordpress.com/2014/04/07/definisi-status-sekonomi/, diakses 25 Maret 2015).











Lampiran:
Sinopsis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Novel ini bercerita tentang kisah cinta dua insan, tapi dipisahkan oleh tradisi adat. Ada dua adat yang ada dalam novel ini yaitu Budaya Minangkabau (Padang) dan Budaya Bugis (Makassar). Sang penulis Buya Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat. Cinta yang dirasakan Zainuddin adalah cinta yang tidak sampai karena terhalang oleh adat yang sangat kuat. Cinta ini bermulai ketika Zainuddin sudah tidak punya orang tua lagi atau yatim piatu. Ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau asli, dia diasingkan dan dibuang ke Makassar karena telah membunuh seseorang kerabat yang disebabkan masalah warisan. Ayah Zainuddin meninggal di Makassar. Ibu Zainuddin adalah suku bugis (orang Makassar), yang meninggal sebelum wafatnya ayah Zainuddin.
Pada awalnya Zainuddin tinggal di Makassar dengan teman ayahnya, Mak Base. Kemudian Zainuddin pindah ke Batipuh Kabupaten Tanah Datar di Sumatra Barat. Karena Zainuddin adalah campuran orang Minangkabau dan Bugis, banyak perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya, baik di Makassar maupun di Minangkabau, karena kuatnya adat istiadat masyarakat pada saat itu. Salah satu diskriminasi yang dirasakan Zainuddin adalah ketika dia mencintai Hayati yang merupakan seorang anak dari bangsawan Minangkabau. Tapi Zainuddin tidak boleh menikahi Hayati karena dihalangi oleh adat istiadat yang mengatakan bahwa Zainuddin bukan orang Minangkabau asli karena ibunya dari Makassar. Karena kecewa, Zainuddin kemudian pindah ke Kota Padangpanjang yang berjarak sekitar 10 km dari Batipuh.
Zainuddin tetap melakukan surat-menyurat dengan Hayati. Hayati lalu datang ke Padangpanjang, karena dia punya seorang kawan yang bernama Khadijah, lalu Hayati menginap di rumahnya. Khadijah mempunyai kakak laki-laki yang bernama Aziz yang diam-diam naksir pada Hayati. Karena bermukim pada satu kota (padangpanjang) akhirnya Azis dan Zainuddin bersaing dalam mendapatkan cinta Hayati. Tapi sayang, keluarga Hayati lebih memilih Azis yang merupakan keturunan Minangkabau asli dan keluarganya juga berada. Zainuddin dianggap tidak lebih baik daripada Azis karena Zainuddin adalah anak campuran Minangkabau dan Bugis.
Mendengar pernikahan antara Hayati dan Azis, membuat Zainudin jatuh sakit, akan tetapi berkat dorongan semangat dari Muluk sahabatnya yang paling setia, kondisi Zainudin berangsur-angsur membaik. Kemudian Zainuddin dan Muluk pergi pulau ke Jawa, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddinmenjadi penulis yang terkenal. Karena alasan pekerjaan, Azis juga pindah ke Surabaya bersama Hayati. Seiring waktu berjalan, hubungan Azis dan Hayati tidak baiklagi. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Seiring waktu, Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati. Akhirnya Aziz memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi, dan dia meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin. Kemudian Azis mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Rasa cinta Zainudin pada Hayati sebenarnya masih kuat, akan tetapi mengingat Hayati itu sudah menikah dan bersuami, cinta yang masih menggelora itu dia usahakan untuk dipadamkan, kemudian Hayati dibiayai untuk pulang ke kampung halaman di Batipuh, Sumatra Barat. Esok harinya, Hayati berangkat dengan sebuah kapal yaitu Van der Wijck. Kapal ini kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa.
Setelah mengetahui kabar tersebut, Zainuddin dan Muluk pergi ke untuk mencari Hayati, akhirnya ditemukan dia berada di sebuah rumah sakit di Cirebon. Setelah beberapa waktu, Hayati akhirnya meninggal di rumah sakit tersebut setelah melewati waktu bersama Zainuddin. Di saat-saat akhir hayatnya, Hayati masih sempat mendengar dan melihat bahwa sebenarnya Zainudin masih sangat mencintainya, namun semua itu sudah terlambat. Beberapa waktu kemudian, Zainuddin pun jatuh sakit, setelah badannya makin lemah, kemudian akhirnya dia wafat. Mereka lalu dikebumikan secara berdampingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar