RASISME
PADA NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA
Oleh
Nur
Hidayati
Program
Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas
PGRI Adi Buana Surabaya
Email:
Nurhidayati0109@gmail.com
Abstrak
Pada
dasarnya rasisme adalah pandangan hidup (way
of life, Anschauung) yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap
kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Rasisme juga banyak terdapat dalam sastra.
Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang disaksikan, dialami
dalam proses kehidupan, serta apa
yang direnungkan atau dipikirkan.
Jadi hakikat sastra merupakan suatu
pengungkapan kehidupan lewat
bahasa. Gagasan rasisme bila
dihubungkan dengan wacana, asosiasinya akan jelas, yaitu mempermasalahkan
tentang adanya diskrimasi, prasangka, perbudakan atau apherteid, adanya dominasi, dan adanya kesenjangan etnis atau ras.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
adalah novel romantis yang berlatar pada zaman kolonial Belanda. Pada masa itu
bangsa Indonesia masih memegang teguh dan menjunjung tinggi adat istiadat.
Zainuddin merupakan orang Bugis dan Hayati orang Padang. Perbedaan ini yang
membuat hubungan mereka ditentang oleh orang tua Hayati.
Kata
kunci: Rasisme, suku, dan adat.
A.
Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau
doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia
menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih
superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.
Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme
untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri
(etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap
hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok
orang tertentu (stereotipe). Rasisme telah menjadi faktor pendorong
diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida.
Rasisme juga banyak terdapat dalam sastra.
Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang disaksikan, dialami
dalam proses kehidupan, serta apa
yang direnungkan atau dipikirkan.
Jadi hakikat sastra merupakan suatu
pengungkapan kehidupan lewat
bahasa. Yang mendorong lahirnya
sastra adalah keinginan dasar
manusia untuk mengungkapkan diri
serta menaruh minat pada sesama
manusia, untuk menaruh minat pada
dunia realitas tempat hidupnya dan
pada dunia angan-angan yang
dikhayalkannya sebagai dunia nyata,
dan keinginan dasar untuk mencintai
bentuk sebagai bentuk, artinya bahwa
setiap manusia senang pada sesuatu
yang konkrit, riil, dan yang bisa
dipegang. Sastra lahir sebagai
dorongan-dorongan asasi yang sesuai
dengan kodrat insani sebagai
manusia.
Salah satu novel yang
mengandung unsur rasis didalamnya
yaitu novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Novel tersebut menceritakan kisah cinta antara dua
manusia yang terpisah oleh adat. Penulis memilih novel ini karena novel ini
mengangkat kisah cinta yang kental akan budaya. Tokoh lelaki yang terusir dari
tanah dimana ayahnya lahir menjadikan dia termotivasi menjadi manusia yang
sukses agar tidak ada lagi yang mendiskriminasi dia.
b.
Rumusan Masalah
Bagaimana tindakan rasis yang ada pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?
c.
Tujuan
Mengetahui tindakan rasis yang ada pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
B.
Landasan
Teori
a.
Rasisme
Pada
dasarnya rasisme adalah pandangan hidup (way
of life, Anschauung) yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap
kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Dalam arti
manusia yang mempunyai ras rendah. Oleh karena itu, mereka yang memiliki ras
rendah layak dimusnahkan, diperbudak atau diperlakukan tidak manusiawi.
Gagasan
rasisme mempermasalahkan tentang adanya diskrimasi, prasangka, perbudakan atau apherteid, adanya dominasi, dan adanya
kesenjangan etnis atau ras. Selain itu ada yang disebut rasisme komtemporer,
yaitu rasisme yang terbentuk karena dominasi para elit birokrasi, elit
perusahaan, elit media, elit pendidikan, dan elit gelar. Biasanya para elit itu
berupaya mengontrol dimensi-dimensi dan
keputusan-keputusan tentang kehidupan sehari-hari kaum imigran dan kaum
minoritas, misalnya tentang posisi tempat masuk, tempat tinggal, pekerjaan,
perumahan, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, pengetahuan, informasi, dan
budaya.
Rasisme
mempunyai satu basis ideologis. Seperti suatu format ketidaksamaan kekuasaan
dalam masyarakat. Rasisme juga perlu didefinisikan dalam kaitannya dengan
berbagai jenis praktik kemasyarakatan, wacana seperti itu bersifat membedakan
interaksi, pada taraf mikro, melalui analisis dengan pengaturan kelembagaan,
struktur organisasi, dan golongan hubungan dari kekuatan penyalahgunaan
kekuasaan.
Rasisme
adalah satu sistem kesenjangan kemasyarakatan yang kompleks paling tidak
mengombinasikan komponen berikut: a) secara ideologi berlandaskan penyajian
kelompok masyarakat; b) model mental anggota kelompok etnis tertentu; c)
sehari-hari membedakan wacana dan praktik kemasyarakatan; d) struktur
kelembagaan dan aktivitas organisasi; e) hubungan kekuatan antara kelompok
dominan (kulit putih), dan kelompok minoritas (kesukuan).
Tanpa
kondisi kompleks, kerangka multidsiplin
mustahil dapat memahami struktur dan fungsi pembicaraan kelompok elit di
dewan perwakilan rakyat Eropa, dan menganalisis fungsi sistem keseluruhan untuk
membahas kesenjangan yang terjadi di masyarakat Eropa termasuk dasar-dasar
ideologi mereka. Kajian ini hanya menyoroti beberapa fitur rasisme dan gambaran
hubungan antara pengamatan ras, yaitu ideologi di satu pihak dan politik di
pihak lain.
C.
Pembahasan
a.
Rasisme
Berdasarkan Suku dan Adat
Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah novel romantis yang berlatar pada zaman
kolonial Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia masih memegang teguh dan
menjunjung tinggi adat istiadat. Adat yang diagungkan membuat hubungan
Zainuddin dan Hayati tidak bisa bersatu. Zainuddin merupakan orang Bugis dan
Hayati orang Padang. Perbedaan ini yang membuat hubungan mereka ditentang oleh
orang tua Hayati. Zainuddin mengalami deskriminasi
karena dia bukan keturunan asli Padang. Berikut beberapa kutipan yang
menunjukkan tokoh Zainuddin mengalami tindakan rasis.
Kutipan 1:
Angan-angan
dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di
negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang dan, bukan orang asli
Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam
kesepian.
Sekarang
saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir ditengah gurun
yang luas keputusan air, tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya
danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu,
danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas! (Hamka,
2002: 33).
Kutipan ini menunjukkan keluh kesah
Zainuddin tentang nasibnya. Bangsa Bugis adalah bangsa yang menjunjung tinggi
sosok Ayah dan bangsa Padang adalah bangsa yang menjunjung tinggi sosok Ibu.
Ayah Zainuddin orang Padang sedangkan ibunya orang Bugis. Hal ini yang membuat
Zainuddin tidak jelas asal-usulnya. Di Mengkasar Zainuddin merasa kesepian
karena masyarakat menganggap dia orang Padang. Dengan alasa itu ia pindah ke
Padang karena Zainuddin penasaran dengan tanah kelahiran ayahnya. Namun,
setelah samapai di Pandang dia kembali kecewa karena orang Padang juga menganggap
Zainuddin orang asing.
Kutipan
ke-2:
Disini
saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada senonoh dengan
kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi,
sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasehat, lebih baik sebelum
perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako
turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya
engkau surut.”
Tercengang
Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal
rasa kepalanya. Lalu dia berkata: “mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada
diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?”
“Harus
hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan
di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum berkerabat, dia
bukan sembarang orang.” (Hamka, 2002: 50)
“Dengan
sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati
yang engkau cintai.”
“Untuk
kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam
jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya,
tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam
adat minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan pucuk bulat
urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri
Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan
tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. (Hamka,
2002: 51)
Kutipan di atas menggambarkan kisah
cinta Zainuddin dan Hayati yang ditentang oleh sesepuh suku Padang dimana
sesepuh tersebut adalah paman Hayati. Zainuddin mendapatkan tindakan rasis
karena Zainuddin bukan keturunan asli Padang. Datuk mengusir Zainuddin karena
tidak ingin hubungan Zainuddin dengan Hayati berlanjut. Datuk mengagungkan
suku, adat dan kebahagiaan Hayati sebagai alasan untuk mengusir Zainuddin.
Zainuddin yang menyayangi Hayati setuju untuk pergi dari Batipuh karena dia
tidak ingin Hayati menderita.
Kutipan
ke-3:
Zainuddin
baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka
pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: “Lebih baik
engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu
disebut-sebut orang banyak sekali. Tadi sore Mande mendengar beberapa anak muda
hendak jahat kepadamu.” (Hamka, 2002: 54)
Bukan hanya mamak Hayati yang menentang
hubungan Zainuddin dengan Hayati tapi pemuda di Desa Batipuh juga tidak suka
dengan hubungan mereka. Khawatir akan teror yang akan dilakukan pemuda desa,
Mande Jamilah menyuruh Zainuddin cepat pergi dari Batipuh. Meski Mande Jamilah
mengizinkan Zainuddin tinggal di rumahnya karena uang tapi Mande Jamilah juga
khawatir pada Zainuddin.
Kutipan
ke- 4:
Datuk
melenggongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanya
bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak Tengah Limah
menjawab bahwasannya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang
Mengkasar itu.
Yang
hadir tercengang-cengang. Mamak Daruk garang merah matanya mendengarkan
perkataan Limah seraya berkata: “membuat malu, hendak menginjak kepala ninik
mamak. Bagaiman akan bisa seorang Mengkasar, seorang Bugis, akan diterima
menjadi menantu.”
“Bagaimana
kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa
banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan
dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.
“Lebih
baik dia mati, senang kita; daripada
dia memberi malun ninik mamak, merusak adar dan lembaga, mengubah cupak nan
usali. Apa guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dean
menggoreskan malu di muka kita?”.
Mendengar
itu tidak ada yang berani menjawab perkataannya, Limah pun terdiam (Hamka,
2002: 103).
Zainuddin mengirim surat pada Mamak
Datuk Garang dengan tujuan melamar Hayati. Di waktu sama datang pula lamaran
dari deorang pemuda asli padang yang keluarganya cukup disegani oleh orang
padang bernama Aziz. Sesuai adat, ninik mamak Hayati melakukan musyawarah untuk
memilih siapa yang akan diterima sebagai calon menantu. Zainuddin yang hanya
orang biasa, tidak jelas sukunya dianggap tidak pantas untuk Hayati. Keluarga
Hayati lebih memilih Aziz. Aziz adalah keturunan asli Padang, jelas asal
usulnya, dan terlahir dari keluarga terhormat.
b.
Rasisme
Berdasarkan Status Sosial Ekonomi
Menurut
W.S Winke (1991) status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang
menunjukkan pada kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki.
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck tokoh Zainuddin pada mulanya merupakan seseorang yang status
sosialnya rendah. Hal ini juga menjadi faktor penyebab Zainuddin mengalami
tindakan rasis. Berikut kutipannya.
“Hai
Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah
kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak
dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang
panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu
seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan
orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan
berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya?
Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang
oleh panas?”. (Hamka, 2002: 53)
Hayati yang mengetahui bahwa Zainuddin
di usir oleh mamaknya berusaha membela Zainuddin. Namun mamak Hayati bersikukuh
pada pendapatnya bahwa Zainuddin tidak pantas untuk Hayati. Zainuddin merupakan
orang tidak mampu sehingga mamak Hayati merendahkan Zainuddin dan mengusirnya
dari Batipuh.
D.
Penutup
a.
Simpulan
1.
Rasisme Berdasarkan Suku dan Adat
Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah novel romantis yang berlatar pada zaman
kolonial Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia masih memegang teguh dan
menjunjung tinggi adat istiadat. Adat yang diagungkan membuat hubungan
Zainuddin dan Hayati tidak bisa bersatu.
“Harus
hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di
bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum berkerabat, dia
bukan sembarang orang.” (Hamka, 2002: 50)
“Dengan sangat saya minta engkau
berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai.”
Kutipan
di atas menggambarkan kisah cinta Zainuddin dan Hayati yang ditentang oleh
sesepuh suku Padang dimana sesepuh tersebut adalah paman Hayati. Zainuddin
mendapatkan tindakan rasis karena Zainuddin bukan keturunan asli Padang. Datuk
mengusir Zainuddin karena tidak ingin hubungan Zainuddin dengan Hayati
berlanjut. Datuk mengagungkan suku, adat dan kebahagiaan Hayati sebagai alasan
untuk mengusir Zainuddin. Zainuddin yang menyayangi Hayati setuju untuk pergi
dari Batipuh karena dia tidak ingin Hayati menderita.
2.
Rasisme Berdasarkan Status Sosial
Ekonomi
Menurut W.S
Winke (1991) status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang
menunjukkan pada kemampuan finansial dan perlengkapan material yang dimiliki.
“Hai
Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah
kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak
dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang
panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu
seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan
orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan
berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya?
Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang
oleh panas?”. (Hamka, 2002: 53)
Hayati yang mengetahui bahwa Zainuddin
di usir oleh mamaknya berusaha membela Zainuddin. Namun mamak Hayati bersikukuh
pada pendapatnya bahwa Zainuddin tidak pantas untuk Hayati. Zainuddin merupakan
orang tidak mampu sehingga mamak Hayati merendahkan Zainuddin dan mengusirnya
dari Batipuh.
Daftar
Pustaka
Darma,Yoce ali. 2009.
Analisis Wacana Kritis.Yogyakarta:Yrama
Widya.
Hamka. 2002. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta:
Bulan Bintang.
Sari, Dini Komala. 2014.
Definisi Status Ekonomi dalam (http://dinikomalasari.wordpress.com/2014/04/07/definisi-status-sekonomi/,
diakses 25 Maret 2015).
Lampiran:
Sinopsis Novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck
Novel ini bercerita tentang kisah cinta dua
insan, tapi dipisahkan oleh tradisi adat. Ada dua adat yang ada dalam novel ini
yaitu Budaya Minangkabau (Padang) dan Budaya Bugis (Makassar). Sang penulis
Buya Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan
dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat. Cinta yang dirasakan Zainuddin
adalah cinta yang tidak sampai karena terhalang oleh adat yang sangat kuat.
Cinta ini bermulai ketika Zainuddin sudah tidak punya orang tua lagi atau yatim
piatu. Ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau asli, dia diasingkan dan dibuang
ke Makassar karena telah membunuh seseorang kerabat yang disebabkan masalah
warisan. Ayah Zainuddin meninggal di Makassar. Ibu Zainuddin adalah suku bugis
(orang Makassar), yang meninggal sebelum wafatnya ayah Zainuddin.
Pada awalnya Zainuddin tinggal di Makassar
dengan teman ayahnya, Mak Base. Kemudian Zainuddin pindah ke Batipuh Kabupaten
Tanah Datar di Sumatra Barat. Karena Zainuddin adalah campuran orang
Minangkabau dan Bugis, banyak perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya, baik di
Makassar maupun di Minangkabau, karena kuatnya adat istiadat masyarakat pada
saat itu. Salah satu diskriminasi yang dirasakan Zainuddin adalah ketika dia
mencintai Hayati yang merupakan seorang anak dari bangsawan Minangkabau. Tapi
Zainuddin tidak boleh menikahi Hayati karena dihalangi oleh adat istiadat yang
mengatakan bahwa Zainuddin bukan orang Minangkabau asli karena ibunya dari
Makassar. Karena
kecewa, Zainuddin kemudian pindah ke Kota Padangpanjang yang berjarak sekitar
10 km dari Batipuh.
Zainuddin tetap melakukan surat-menyurat
dengan Hayati. Hayati lalu datang ke Padangpanjang, karena dia punya seorang
kawan yang bernama Khadijah, lalu Hayati menginap di rumahnya. Khadijah
mempunyai kakak laki-laki yang bernama Aziz yang diam-diam naksir pada Hayati.
Karena bermukim pada satu kota (padangpanjang) akhirnya Azis dan Zainuddin
bersaing dalam mendapatkan cinta Hayati. Tapi sayang, keluarga Hayati lebih
memilih Azis yang merupakan keturunan Minangkabau asli dan keluarganya juga
berada. Zainuddin dianggap tidak lebih baik daripada Azis karena Zainuddin
adalah anak campuran Minangkabau dan Bugis.
Mendengar pernikahan antara Hayati dan Azis,
membuat Zainudin jatuh sakit, akan tetapi berkat dorongan semangat dari Muluk
sahabatnya yang paling setia, kondisi Zainudin berangsur-angsur membaik.
Kemudian Zainuddin dan Muluk pergi pulau ke Jawa, tinggal pertama kali di
Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddinmenjadi
penulis yang terkenal. Karena alasan pekerjaan, Azis juga pindah ke Surabaya
bersama Hayati. Seiring waktu berjalan, hubungan Azis dan Hayati tidak
baiklagi. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin.
Seiring waktu, Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati.
Akhirnya Aziz memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi, dan dia meninggalkan
sepucuk surat yang menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin.
Kemudian Azis mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Rasa cinta Zainudin pada Hayati sebenarnya
masih kuat, akan tetapi mengingat Hayati itu sudah menikah dan bersuami, cinta
yang masih menggelora itu dia usahakan untuk dipadamkan, kemudian Hayati
dibiayai untuk pulang ke kampung halaman di Batipuh, Sumatra Barat. Esok
harinya, Hayati berangkat dengan sebuah kapal yaitu Van der Wijck. Kapal ini
kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa.
Setelah mengetahui kabar tersebut, Zainuddin
dan Muluk pergi ke untuk mencari Hayati, akhirnya ditemukan dia berada di
sebuah rumah sakit di Cirebon. Setelah beberapa waktu, Hayati akhirnya
meninggal di rumah sakit tersebut setelah melewati waktu bersama Zainuddin. Di
saat-saat akhir hayatnya, Hayati masih sempat mendengar dan melihat bahwa
sebenarnya Zainudin masih sangat mencintainya, namun semua itu sudah terlambat.
Beberapa waktu kemudian, Zainuddin pun jatuh
sakit, setelah badannya makin lemah, kemudian akhirnya dia wafat. Mereka lalu
dikebumikan secara berdampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar