BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jangkauan dari sosok jurnalistik itu
sangat luas. Tidak hanya menembus batas-batas wilayah yang jelas-jelas kasat
mata, tetapi sosok jurnalistik itu juga menembus batas-batas yang jumlahnya
sangat nisbi, atau yang serba samar-samar sekalipun. Maksudnya, bahwa yang
dijangkau oleh jurnalistik atau pers itu tidak saja kaum atau kelompok yang
sifatnya sangat tertentu, yang karakternya serba terbatas. Jurnalistik atau
pers itu sifatnya lintas kaum dan bahkan
lintas semua sekat. Tembok-tembok yang sangat tebal sekalipun , dengan
kepiawauan juranalistik dari para jurnalis itu dapat pula ditembusnya.
Jurna;listik tidak hanya berkiprah di dalam wilayah sosial-politik tertentu,
tetapi juga merambah semua ranah sosial-politik, sosial-budaya, sosial-edukasi,
pertahanan, sains, teknologi yang semuanya serba bertali-temali dengannya.
Demikianpun tautannya, sosok jurnalistik
itu dekat sekali dengan bidang-bidang kemasyarakatan, pemerintahan, dan
kebangsaan, kebudayaan dan sosial kemasayarakatan lainnya, bak masuk-merasuk di
dalamnya. Semua itu dicoba agar senantiasa dijangkau dan ditembus oleh
jurnalistik atau pers. Oleh karena itu, jurnalistik atau pers itu sesungguhnya
sama sekali tidak terkendala oleh sekat-sekat umur dan sekat-sekat jenis
kelamin, oleh batas-batas jabatan, oleh latar belakang pendidikan, dan oleh
latar-latar etnis dan suku tertentu. Jurnalistik atau pers bergerak dengan
bebas-leluasa dan amat melebar, bahkan menembus dan merasuk ke dalam
sekat-sekat tembok tebal yang masif.
Kendala pers sesungguhnya hanya satu,
yaitu bahwa di dalam batas-batas tertentu, kaidah-kaidah umum kebahasaam yang
sedang berlaku, harus sepenuhnya diindahkan dan diperhatikan oleh media massa
itu. Jadi, bahasa jurnalistik Indonesia tidak lepas dari kaidah-kaidah umum
Bahasa Indonesia yang berlaku sekarang.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan penulis memperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagamana
ciri kalimat jurnalistik yang efektif?.
2. Bagaimana
penggunaan bahasa dalam jurnalistik?.
C.
Tujuan
1. Mendeskripsikan
ciri kalimat jurnalistik yang efektif.
2. Mendeskripsikan
penggunaan bahasa dalam jurnalistik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ciri-Ciri Media Cetak
Secara
umum, sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers harus memerhatikan ciri-ciri
yang amat mendasar berikut ini. Seorang jurnalis sejati dan juga para calon
jurnalis, mesti memahami kelima ciri bahasa dalam ragam jurnalistik ini.
1) Komunikatif
Ciri khas dari bahasa jurnalistik adalah
tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, harus terus langsung pada pokok
permasalahannya (straight to the point). Jadi, bahasa jurnalistik harus lugas,
sederhana, tepat diksinya, dan menarik sifatnya. Bahasa jurnalistik yang
memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, akan menjadi bahasa yang komunikatif,
bahasa yang tidak mudah menimbulkan salah paham, bahasa yang tidak mudah
menimbulkan tafsir ganda, dan bahasa yang akan dicintai atau digemari massa.
2) Spesifik
Bahasa jurnalistik harus disusun dengan
kalimat-kalimat yang singkat-singkat atau pendek-pendek. Bentuk-bentuk
kebahasaan yang sederhana, mudah diketahui oleh orang kebanyakan, dan gampang
dimengerti oleh orang awam, harus senantiasa ditonjolkan atau dikedepankan di
dalam bahasa jurnalistik. Jadi, kata-kata yang muncul mesti spesifik sifatnya dan
denotatif maknanya, sehingga tidak dimungkinkan terjadi tafsir makna yang
ganda.
3) Hemat
kata
Bahasa jurnalistik memegang teguh
prinsip ekonomi bahasa atau ekonomi kata (economy of words). Bentuk-bentuk
kebahasaan yang digunakan dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin berciri
minim karakter kata atau sedikit jumlah hurufnya. Preferensi jurnalis harus
mengarah pada bentuk-bentuk kata bersinonim yang lebih sederhana dan singkat
bentuknya, serta lebih sedikit jumlah huruf atau karakternya, bukan pada bentuk-bentuk
yang lebih panjang.
4) Jelas
makna
Di dalam bahasa jurnalistik, sedapat
mungkin digunakan kata-kata yang bermakna denotative ( kata-kata yang
mengandung makna sebenarnya ), bukan kata-kata yang bermakna konotatif (
kata-kata yang maknanya tidak langsung, kata-kata yang bermakna kiasan).
Penghalusan bentuk kebahasaan (eufemisme), justru dapat dipandang sebagai
pemborosan kata di dalam bahasa jurnalistik.
5) Tidak
mubazir dan tidak klise
Bentuk mubazir menunjuk pada kata atau
frasa yang sebenarnya dapat dihilangkan dari kalimat yang menjadi wadahnya, dan
peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti atau maknanya. Kata-kata klise
atau stereotype ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan,
membosankan, terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada
variasi, hanya mengulang-ulang keterlanjuran. Kata-kata yang demikian, lazim
disebut dengan tiring words. Bahasa jurnalistik harus menghindari itu semua,
demi maksut kejelasan, demi maksut kelugasan, dan demi ketajaman penyampaian
ide atau gagasan.
B.
Ciri-Ciri Kalimat
Jurnalistik Yang Efektif
Kalimat
jurnalistik yang efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan kembali gagasan atau pikiran pada diri pembaca, seperti apa yang
ada di dalam pikiran dan benak penulisanya. Kalimat jurnalistik yang demikian
ini juga harus memiliki kandungan kata-kata tertentu yang bernilai rasa,
berciri ikonis, dan kadangkala bersifat anomatopis, sehingga makna atau maksud
penyampaian idea tau pokok pikiran itu dapat terjadi dengan baik.
Kalimat jurnalistik yang efektif,
sangat bertautan erat dengan persoalan diksi atau pemilihan kata. Pemilihan
kata yang tidak melulu benar secara linguistis, tetapi juga tepat secara
sosiolinguistik dan secara sosiopragmatik. Adapun ciri-ciri pokok dari kalimat
jurnalistik yang efektif itu adalah sebagai berikut
a. Kesepadanan
struktur
b. Keparalelan
bentuk
c. Ketegasan
makna
d. Kehematan
kata
e. Kecermatan
penalaran
f. Keterpaduan
gagasan
g. Kelogisan
bahasa
C.
Prinsip
Penyusunan Kalimat Jurnalistik
Dalam
hemat penulis, terdapat sedikitnya 10 prinsip dasar bagi para jurnalis atau
insane pers dan bagi para calon jurnalis untuk menyusun kalimat-kalimat
jurnalistik dalam setiap karyanya. Kesepuluh pedoman penulisan kalimat
jurnalistik yang ditemukan penulis tersebut didasarkan pada pengalaman, baik
sebagai penulis di berbagai media massa cetak, sebagai konsultan bahasa
jurnalistik di sebuah harian nasional ternama di Jakarta, dan terlebih-lebih
lagi didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai seorang linguis.
1. Berciri
padat, singkat, tajam, dan lugas.
2. Berciri
sederhana dan tidak berbelit.
3. Membatasi
kalimat luas.
4. Menggunakan
bentuk yang tidak verbalistis.
5. Memiliki
preferensi pada bentuk-bentuk pendek.
6. Mengutamakan
bentuk positif dan bentuk aktif.
7. Berciri
jelas, tegas, dan tidak kabur makna.
8. Membedakan
secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis.
9. Memiliki
preferensi bentuk sederhana dan pendek, berdasarkan kaidah linguistik.
10. Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan atas
interferensi bahasa asing.
D.
Bahasa
Jurnalistik Indonesia
Ragam bahasa jurnalistik yang ada dalam
wadah negara Indonesia, tentu tidak akan serta-merta mengabaikan kaidah-kaidah
kebahasaan dan aturan tata tulis serta tata ejaan yang berlaku resmi di dalam
wadah Bahasa Indonesia itu. Jadi ketentuan-ketentuan kebahasaan dan
kaidah-kaidah kebahasaan itu akan membatasi dan menghambatnya dalam pengertian
yang amat positif. Dengan demikian, adalah benar bilamana dikatakan bahwa sosok
bahasa dalam ragam jurnalistik atau dalam bahasa pers itu, mau tidak mau harus
memiliki sifat-sifat yang khusus atau ciri-ciri yang khas seperti harus
singkat, harus padat, harus sederhana, harus lugas, harus tegas, harus jelas,
dan harus menarik.
H. Rosihan Anwar (2004) (seorang
jurnalis senior dan kawakan) menegaskan, bahwa ragam bahasa jurnalistik itu,
sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan tata bahasa baku dan
kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku. Pelanggaran atas hal
itu akan menjadikan kualitas bahasa media massa bersangkutan menjadi rendah
martabatnya merosot harkatnya. Pasalnya, penggunaan bahasa yang standar dan
bahasa baku, salah satunya dimaksudkan atau ditujukan untuk memudahkan upaya
pengembangan, memudahkan pemahaman, memunculkan harkat, dan menjadikan
bermartabat.
Demikian pula dengan ikhwal kosakata
atau perbendaharaan kata, bahasa ragam jurnalistik atau bahasa pers itu harus
senantiasa mengikuti perkembangan kosakata yang terjadi dala masyarakat.
Jadi tidak sepantasnya bahasa dalam
ragam jurnalistik bersifat terlalu berapatokan pada kamus semata, terlalu
leksikosentris, pilihan kata-katanya tidak pernah membumi melainkan melangit,
tidak banyak dikenal oleh publik pembicaranya, terlampau terpancang pada ke-arkhis-an atau kekunoan dari kata-kata,
dan lain-lain.
Perlu kiranya dicatat, bahwa tidak semua
kata terdapat dalam kamus atau daftar leksikon sebuah bahasa, dapat diterima
pemakaiannya dan mudah dikenali karakter bahasanya oleh setiap bahasa warga
masyarakat yang bersangkutan. Kata-kata di dalam Bahasa Indonesia yang terkesan
masih relatif asing, relatif belum bisa digunakan. Kata pagu alih-alih kata batas
atau ambang, kata memindai alih-alih kata mencermati atau memeriksa, kiranya perlu ditimbang-timbang lagi pemakaian dan
kemunculannya dalam pers. Bilamana memang ada kata yang berciri sejenis di
dalam Bahasa Indonesianya, katakan saja, bilamana terdapat sinonim atau padanan
kata yang jauh lebih familiar sifatnya, maka gunaknalah bentuk-bentuk yang
terakhir disebutkan itu. Gunakanlah kata-kata atau istilah-istilah yang lebih
umum atau lebih familiar itu.
Jangan sampai kehadiran kata-kata baru,
istilah-istilah yang kadang terkesan terlalu dipaksakan oleh sejumlah jurnalis,
gejala-gejala verbalistis yang cenderung dicuatkan oleh sejumlah jurnalis,
justru akan menyulitkan pembaca media massa bersangkutan, yang notabene berasal
dari aneka latar belakang, sehingga akan menjadi suatu kesulitan dalam
memahami. Dari sudut ini terlihat dengan jelas, bahwa ragam bahasa jurnalistik
itu cenderung lebih berpihak pada menifestasi bahasa yang benar-benar dipakai
dalam masyarakat. Bukan saja berada pada kata-kata yang melulu diciptakan oleh
para ahli bahasa atau para linguis semata. Banyak kata di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), banyak pula daftar leksikon atau daftar istilah, yang
tidak semuanya dapat diterima oleh warga masyarakat.
Banyak dari kata-kata itu juga tidak
dipakai dalam keseharian berbahasa Indonesia. Untuk kata-kata dan
istilah-istilah yang demikian itu, kiranya bukanlah pertama-pertama tugas dari
pers atau media massa untuk mengenalkannya, maka sekali lagi, bersikaplah
secara hati-hati dengan kata-kata yang belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat pengguna. Jangan terlalu bersifat verbalistis ketika menggunakan
kata-kata atau istilah-istilah baru, jangan terlampau asyik dengan diri Anda
sendiri sebagai jurnalis dalam memainkan kata-kata atau istilah-istilah baru
disepanjang teks Anda. Anda harus senantiasa ingat, bahwa khalayak pembacalah
yang pertama-tama harus Anda utamakan. Jangan pertama-tama Anda sendiri, atau
mungkin insan-insan di dalam lembaga pers Anda yang menjadi ukuran
parameternya. Demikian juga ketika suatu saat Anda menemukan kata-kata atau
istilah-istilah yang asing, bersikaplah dengan bijaksana dan seksama.
Kata-kata atau istilah asing itu dapat
saja digunakan dalam bahasa ragam jurnalistik bilamana memang tidak ada kata atau istilah yang lain dalam
Bahasa Indonesianya, namun dalam penulisannya harus dengan cetak miring atau
dengan cetak kursif. Akan tetapi, bilamana di dalam Bahasa Indonesia terdapat
kata atau istilah tertentu sebagai padanan dari bentuk-bentuk asing tersebut,
gunakanlah pertama-tama bentuk Bahasa Indonesianya. Hati-hati dengan gejala
verbalitas yang cenderung merasuki sebagian warga masyarakat kita, dapat jadi
juga kepada para jurnalis, karena fakta kebahasaan yang demikian itu tidak akan
berarti apa-apa terhadap pemekaran dan pengembangan bahasa kita sendiri.
Dalam buku ini penulis hendak
menegaskan, bahwa tidak ada orang yang menganggap wartawan atau jurnalis yan suka
menulis dengan kata-kata asing, gemar beristilah kata-kata asing, dan
verbalitas dalam kata-kata, dapat dengan serta-merta menjadikan dirinya tinggi
nilai (unggul derajat) atau peringkatnya. Justru hal tersebut akan membuatnya
mendapat cerca dan banyak umpatan, yaitu sebagai sosok jurnalis yang telah
banyak mengingkari Bahasa Indonesia yang dimilikinya, atau sebagai wartawan
yang tidak jelas posisi nasionalismenya dalam hal olah dan kiprah bahasa. Jadi
sekali lagi, berhati-hatilah dengan kecenderungan untuk menjadi sangat verbalistis
dalam berbahasa jurnalistik.
Bahasa jurnalistik Indonesia juga
hendaknya banyak menggunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak
memiliki nilai rasa atau yang bersifat ikonis. Dengan memakai bentuk-bentuk
bernilai rasa atau yang demikian itu, bahasa ragam jurnalistik yang sedang
digunakan oleh jurnalistik itu tidak akan terlampau terlalu kaku dan terkesan
gersang. Sebaliknya, justru akan menjadi semakin tegas dan kuat nuansanya.
Misalnya, alih-alih menggunakan kata “ditembak petugas” gunakan saja istilah
ikonis “didor petugas”. Untuk menekankan nilai rasa yang lebih, misalnya, orang
akan menggunakan bentuk “menjebloskan Anu ke dalam penjara” daripada
“memasukkan Anu ke dalam penjara”.
Demikianlah hendaknya para jurnalis di
Indonesia itu harus banyak menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang
memiliki nilai rasa, bentuk-bentuk yang bernilai ikonis dan afektif. Bahasa
jurnalistik untuk media massa cetak hendaknya juga harus dibedakan dengan
bahasa pers atau bahasa jurnalistik untuk media massa elektronik. Pasalnya,
untuk yang pertama itu ragam bahasanya berciri tulis, sedangkan untuk yang
kedua ciri bahasanya berkarakter tutur.
Bahasa tulis itu memiliki jatidiri atau
identitas makna serta representasi bentuk yang tidak sama dengan sosok bahasa
tutur. Aspek-aspek para linguistik, gerak-gerak kinesik, olah mimik dan
intonasi suara, demikian juga jarak bertutur atau proksimik, menjadi sangat
dominan dalam pemakaian bahasa tutur. Adapun tata ejaan, tata tulis, keapikan
paragraf, kebakuan dan keefektifan kalimat, diksi atau pilihan kata yang
sungguh tepat dan penyusunan-penyusunan kalimat yang berharkat dan bermartabat,
sangatlah penting di dalam sosok bahasa ragam tulis. Jadi, jangan pernah kedua
ragam bahasa itu dicampur adukkan, jangan sampai keduanya saling dirancukan
pemakaiannya. Ketika anda menulis di dalam media massa cetak, jauhkanlah
nuansa-nuansa dan karakter-karakter bahasa tutur di dalamnya, karena dapat
menggoda jurnalis untuk selalu menggunakannya. Sebaliknya, ketika sedang
berbahasa jurnalistik elektronik, jauhkanlah kelaziman-kelaziman dan
keharusan-keharusan yang ada dalam bahasa ragam tulis.
Kelemahan umum dari kebanyak media cetak
yang kita temui di sekitar kita selama ini adalah para jurnalis atau
insan-insan pers itu banyak yang tidak
dapat membedakan dengan baik, teliti, dan bijaksana, apa itu sosok ragam bahasa
tutur dan apa itu sesungguhnya sosok ragam bahasa tulis. Kelemahan inilah yang
menjadikan bobot dari bahasa jurnalistik atau bahasa pers pada sebagian media
massa cetak di negeri ini terkesan cukup
parah dan memprihatinkan.
Kedua jenis ragam bahasa yang
sesungguhnya amat berbeda ciri dan sifatnya, amat berbeda identitas dan
karakternya, dicampuradukkan dengan begitu saja. Kalau dicermati, banyak media
massa cetak yang masih memerantikan bahasa secara kacau dan sangat berantakan.
Kenyataan kebahasaan yang demikian inilah yang harus bersama-sama kita tangkas,
kita tebas dan kita singkirkan, sehingga bahasa media massa cetak kita, ke
depan akan menjadi benar-benar baik, dapat diandalkan lugas, cermat, dan
terpercaya.
Hal yang sangat aneh jika media massa
cetak yang dikonsumsi oleh khalayak banyak, dengan beragam kultur warga
masyarakat dan berbeda-beda minat dan kesukaan bacanya, di dalamnya mengandung
aspek kebahasaan yang semestinya tidak dibaca dan tidak diketahui oleh masyarakat,
masih muncul juga di sana. Salah satu tugas utama media massa cetak, dalam
kaitannya dengan pemakaian Bahasa Indonesia, adalah ikut serta menyebarluaskan
kepada masyarakat banyak urgensi Bahasa Indonesia yang berjati diri sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Jadi, fungsi inilah yang harus bersama-sama
diperjuangkan, terlebih-lebih oleh insan-insan pers, oleh para jurnalis
profesional, yang berjati diri sebagai gate-keepers
dari tepat, cermat, dan apiknya pemakaian bahasa kita.
E.
Problematika dalam Kalimat Jurnalistik Efektif
1. Subjek
dan atau predikat tidak eksplisit
·
Dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi terkini itu perlu mendapatkan perhatian yang
serius dari berbagai pihak, sehingga pada masa mendatang tidak akan ada
seorangpun yang menuntut ganti rugi.
·
Di
dalam keputusan itu sesungguhnya merupakan kebijaksanaan
yang dapat menguntungkan banyak pihak, sehingga perlu kita dukung bersama.
2. Subjek
dan predikat kalimat terpisah terlalu jauh
·
Mereka, selagi kami sedang berdua dengan pacar sambil berdiiri di atas jembatan
layang, asyik bercakap-cakap dan memandangi perahu-perahu yang meluncur
dengan cepat di bawah sana, melemparkan sesuatu ke dalam sungai, lalu tertawa
lepas secara bersama-sama.
3. Keterangan
yang tidak tepat penempatannya
·
Tahun Akademin 2005/2006 mendatang ini,
SPP dan DPP bagi mahasiswa baru dinaikkan.
(squinting modifier – keterangan yang
bersifat menjuling atau menyerong).
·
Agar dapat sedikit demi sedikit
menurunkan berat badan, maka makanan-makanan
berlemak dan berkabohidrat terlalu tinggi harus senantiasa dihindarkan. (dangling modifier – keterangan yang
berciri menggantung).
·
Dalam keramaian yang serupa dengan acara
itu, merekapun tidak pernah mau kalah
dengan mereka yang masih muda, yang jarang terjadi bahkan sekali dalam lima
tahun itu. (misplaced modifier – keterangan
yang salah letaknya).
·
Parkir di dalam halaman toko swalayan
yang ramai sekali di sebuah pinggiran kota itu bebas parkir. (unidiomatic midifier – keterangan yang
sifatnya tidak idiomatis).
·
Kami dengan tegas berkeputusan, karena keluarga sama sekali tidak setuju, untuk
tidak berangkat saja ke Jakarta minggu depan ini. (abrupt modifier – keterangan yang sifatnya mendadak hadir).
·
Meskipun guru Bahasa Inggris baru yang
mengalami kecelakaan itu kini masih berasa di dalam perawatan dokter rumah
sakit, kegagalannya dalam memberitahukan
absensinya tersebut kepada sang kepala sekolah tidak diterima, biarpun
sebenarnya ternyata ia sudah berusaha memberitahukan itu kepadanya. (illogically separated modifier – keterangan
yang terpisah secara tidak logis).
·
Agar mendapat kesempatan untuk belajar
membaca dan latihan menulis di media massa cetak. (fragment – kalimat yang tidak lengkap, kalimat yang buntung atau
menggantung).
4. Kalimat
yang hadir bertumpukan (running-on
sentences)
·
Kita semua harus bersedia dalam
mengemban amanat penderitaan rakyat, harus selalu berusaha keras untuk
mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh bangsa, demikian juga keamanan
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, baik itu yang bersifat jasmani maupun
yang bersifat rohani.
5. Tanda
koma yang dipakai secara ceroboh (comma
faults)
·
Seorang mahasiswa seumpama, saja dia
seorang pendaki gunung sejati sedang terus mendaki dan terus-menerus mendaki
gunung yang tinggi itu, yaitu gung cita-cita yang amat tinggi.
6. Kalimat
rancu
·
Di sekolah internasional itu para siswa
diajarkan berbagai macam keterampilan
dan aneka kemahiran dalam berbahasa asing dan dalam hal teknologi informasi.
·
Di sekolah kami dipelajarkan berbagai macam kepandian bagi kaum wanita mulai
memasak makanan sendiri, merias wajah, menata bunga untuk meja, hingga membuat
kerajinan tangan untuk dijual atau dipasarkan.
·
Dalam
Bahasa
Indonesia sama seklai tidak menganl bentuk yang sifatnya jamak atau plural
seperti halnya di dalam Bahasa Inggris dan pada bahasa-bahasa barat lainnya.
7. Kalimat
mengandung bagian-bagian yang pleonastis
·
Pada
zaman dahulu kala, di dalam sebuah kerajaan yang cukup
besar di daerah Bantul Barat, memerintah
seorang ratu putri cantik yang sangat
arif lagi amat bijaksana sekali.
·
Suaminya sering pulang pagi puluk 03.00 atau 02.00 dini hari sekali
dalam keadaan mabuk, sempoyongan, dan serba lusuh di sekujur tubuh dan
pakaiannya.
8. Kalimat
yang mengandung gejala hipokrotek atau membetulkan apa yang sudah betul mejadi
salah
·
Semua izazahnya harus dilaminasikan terlebih dahulu di unit 3 lantai 2
supaya dapat lebih awet.
·
Perlakuannya telah benar-benar melanggar
hak-hak yang sungguh paling azazi
bagi umat manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ciri-Ciri
Media Cetak
Secara
umum, sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers harus memerhatikan
ciri-ciri yang amat mendasar berikut ini. Seorang jurnalis sejati dan juga para
calon jurnalis, mesti memahami kelima ciri antara lain: komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas
makna, jelas mubazir atau tidak klise.
2.
Ciri-Ciri Kalimat
Jurnalistik Yang Efektif
Kalimat
jurnalistik yang efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan kembali gagasan atau pikiran pada diri pembaca, seperti apa yang
ada di dalam pikiran dan benak penulisanya. Kalimat jurnalistik yang demikian
ini juga harus memiliki kandungan kata-kata tertentu yang bernilai rasa,
berciri ikonis, dan kadangkala bersifat anomatopis, sehingga makna atau maksud
penyampaian idea tau pokok pikiran itu dapat terjadi dengan baik.
3.
Prinsip Penyusunan Kalimat Efektif
Dalam
hemat penulis, terdapat sedikitnya 10 prinsip dasar bagi para jurnalis atau
insane pers dan bagi para calon jurnalis untuk menyusun kalimat-kalimat
jurnalistik dalam setiap karyanya.
4.
Bahasa Jurnalistik Indonesia
H.
Rosihan Anwar (2004) (seorang jurnalis senior dan kawakan) menegaskan, bahwa
ragam bahasa jurnalistik itu, sama sekali tidak boleh mengabaikan
ketentuan-ketentuan tata bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata
tulis yang berlaku.
5. Problematika
Dalam Kalimat Jurnalistik Efektif
1.
Subjek
dan atau predikat tidak eksplisit
2.
Subjek
dan predikat kalimat terpisah terlalu jauh
3.
Keterangan
yang tidak tepat penempatannya
4.
Kalimat
yang hadir bertumpukan (running-on
sentences)
5.
Tanda
koma yang dipakai secara ceroboh (comma
faults)
6.
Kalimat
rancu
7.
Kalimat
mengandung bagian-bagian yang pleonastis
8.
Kalimat
yang mengandung gejala hipokrotek atau membetulkan apa yang sudah betul mejadi
salah
DAFTAR PUSTAKA
Rahardi,
Kunjana. 2011. Bahasa Jurnalistik.
Bogor: Ghalia Indonesia