Jumat, 15 Mei 2015

BAHASA MEDIA CETAK DAN PROBLEMATIKANYA



 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Jangkauan dari sosok jurnalistik itu sangat luas. Tidak hanya menembus batas-batas wilayah yang jelas-jelas kasat mata, tetapi sosok jurnalistik itu juga menembus batas-batas yang jumlahnya sangat nisbi, atau yang serba samar-samar sekalipun. Maksudnya, bahwa yang dijangkau oleh jurnalistik atau pers itu tidak saja kaum atau kelompok yang sifatnya sangat tertentu, yang karakternya serba terbatas. Jurnalistik atau pers itu sifatnya lintas kaum  dan bahkan lintas semua sekat. Tembok-tembok yang sangat tebal sekalipun , dengan kepiawauan juranalistik dari para jurnalis itu dapat pula ditembusnya. Jurna;listik tidak hanya berkiprah di dalam wilayah sosial-politik tertentu, tetapi juga merambah semua ranah sosial-politik, sosial-budaya, sosial-edukasi, pertahanan, sains, teknologi yang semuanya serba bertali-temali dengannya.
Demikianpun tautannya, sosok jurnalistik itu dekat sekali dengan bidang-bidang kemasyarakatan, pemerintahan, dan kebangsaan, kebudayaan dan sosial kemasayarakatan lainnya, bak masuk-merasuk di dalamnya. Semua itu dicoba agar senantiasa dijangkau dan ditembus oleh jurnalistik atau pers. Oleh karena itu, jurnalistik atau pers itu sesungguhnya sama sekali tidak terkendala oleh sekat-sekat umur dan sekat-sekat jenis kelamin, oleh batas-batas jabatan, oleh latar belakang pendidikan, dan oleh latar-latar etnis dan suku tertentu. Jurnalistik atau pers bergerak dengan bebas-leluasa dan amat melebar, bahkan menembus dan merasuk ke dalam sekat-sekat tembok tebal yang masif.
Kendala pers sesungguhnya hanya satu, yaitu bahwa di dalam batas-batas tertentu, kaidah-kaidah umum kebahasaam yang sedang berlaku, harus sepenuhnya diindahkan dan diperhatikan oleh media massa itu. Jadi, bahasa jurnalistik Indonesia tidak lepas dari kaidah-kaidah umum Bahasa Indonesia yang berlaku sekarang.

B.       Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan penulis memperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagamana ciri kalimat jurnalistik yang efektif?.
2.      Bagaimana penggunaan bahasa dalam jurnalistik?.
C.      Tujuan
1.      Mendeskripsikan ciri kalimat jurnalistik yang efektif.
2.      Mendeskripsikan penggunaan bahasa dalam jurnalistik.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ciri-Ciri Media Cetak
Secara umum, sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers harus memerhatikan ciri-ciri yang amat mendasar berikut ini. Seorang jurnalis sejati dan juga para calon jurnalis, mesti memahami kelima ciri bahasa dalam ragam jurnalistik ini.
1)      Komunikatif
Ciri khas dari bahasa jurnalistik adalah tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, harus terus langsung pada pokok permasalahannya (straight to the point). Jadi, bahasa jurnalistik harus lugas, sederhana, tepat diksinya, dan menarik sifatnya. Bahasa jurnalistik yang memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, akan menjadi bahasa yang komunikatif, bahasa yang tidak mudah menimbulkan salah paham, bahasa yang tidak mudah menimbulkan tafsir ganda, dan bahasa yang akan dicintai atau digemari massa.
2)      Spesifik
Bahasa jurnalistik harus disusun dengan kalimat-kalimat yang singkat-singkat atau pendek-pendek. Bentuk-bentuk kebahasaan yang sederhana, mudah diketahui oleh orang kebanyakan, dan gampang dimengerti oleh orang awam, harus senantiasa ditonjolkan atau dikedepankan di dalam bahasa jurnalistik. Jadi, kata-kata yang muncul mesti spesifik sifatnya dan denotatif maknanya, sehingga tidak dimungkinkan terjadi tafsir makna yang ganda.
3)      Hemat kata
Bahasa jurnalistik memegang teguh prinsip ekonomi bahasa atau ekonomi kata (economy of words). Bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin berciri minim karakter kata atau sedikit jumlah hurufnya. Preferensi jurnalis harus mengarah pada bentuk-bentuk kata bersinonim yang lebih sederhana dan singkat bentuknya, serta lebih sedikit jumlah huruf atau karakternya, bukan pada bentuk-bentuk yang lebih panjang.
4)      Jelas makna
Di dalam bahasa jurnalistik, sedapat mungkin digunakan kata-kata yang bermakna denotative ( kata-kata yang mengandung makna sebenarnya ), bukan kata-kata yang bermakna konotatif ( kata-kata yang maknanya tidak langsung, kata-kata yang bermakna kiasan). Penghalusan bentuk kebahasaan (eufemisme), justru dapat dipandang sebagai pemborosan kata di dalam bahasa jurnalistik.
5)      Tidak mubazir dan tidak klise
Bentuk mubazir menunjuk pada kata atau frasa yang sebenarnya dapat dihilangkan dari kalimat yang menjadi wadahnya, dan peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti atau maknanya. Kata-kata klise atau stereotype ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan, membosankan, terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada variasi, hanya mengulang-ulang keterlanjuran. Kata-kata yang demikian, lazim disebut dengan tiring words. Bahasa jurnalistik harus menghindari itu semua, demi maksut kejelasan, demi maksut kelugasan, dan demi ketajaman penyampaian ide atau gagasan.

B.       Ciri-Ciri Kalimat Jurnalistik Yang Efektif
Kalimat jurnalistik yang efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan atau pikiran pada diri pembaca, seperti apa yang ada di dalam pikiran dan benak penulisanya. Kalimat jurnalistik yang demikian ini juga harus memiliki kandungan kata-kata tertentu yang bernilai rasa, berciri ikonis, dan kadangkala bersifat anomatopis, sehingga makna atau maksud penyampaian idea tau pokok pikiran itu dapat terjadi dengan baik.
Kalimat jurnalistik yang efektif, sangat bertautan erat dengan persoalan diksi atau pemilihan kata. Pemilihan kata yang tidak melulu benar secara linguistis, tetapi juga tepat secara sosiolinguistik dan secara sosiopragmatik. Adapun ciri-ciri pokok dari kalimat jurnalistik yang efektif itu adalah sebagai berikut
a.       Kesepadanan struktur
b.      Keparalelan bentuk
c.       Ketegasan makna
d.      Kehematan kata
e.       Kecermatan penalaran
f.       Keterpaduan gagasan
g.      Kelogisan bahasa

C.      Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik
Dalam hemat penulis, terdapat sedikitnya 10 prinsip dasar bagi para jurnalis atau insane pers dan bagi para calon jurnalis untuk menyusun kalimat-kalimat jurnalistik dalam setiap karyanya. Kesepuluh pedoman penulisan kalimat jurnalistik yang ditemukan penulis tersebut didasarkan pada pengalaman, baik sebagai penulis di berbagai media massa cetak, sebagai konsultan bahasa jurnalistik di sebuah harian nasional ternama di Jakarta, dan terlebih-lebih lagi didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai seorang linguis.
1.      Berciri padat, singkat, tajam, dan lugas.
2.      Berciri sederhana dan tidak berbelit.
3.      Membatasi kalimat luas.
4.      Menggunakan bentuk yang tidak verbalistis.
5.      Memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek.
6.      Mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif.
7.      Berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna.
8.      Membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis.
9.      Memiliki preferensi bentuk sederhana dan pendek, berdasarkan kaidah linguistik.
10.   Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan atas interferensi bahasa asing.

D.      Bahasa Jurnalistik Indonesia
Ragam bahasa jurnalistik yang ada dalam wadah negara Indonesia, tentu tidak akan serta-merta mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan dan aturan tata tulis serta tata ejaan yang berlaku resmi di dalam wadah Bahasa Indonesia itu. Jadi ketentuan-ketentuan kebahasaan dan kaidah-kaidah kebahasaan itu akan membatasi dan menghambatnya dalam pengertian yang amat positif. Dengan demikian, adalah benar bilamana dikatakan bahwa sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau dalam bahasa pers itu, mau tidak mau harus memiliki sifat-sifat yang khusus atau ciri-ciri yang khas seperti harus singkat, harus padat, harus sederhana, harus lugas, harus tegas, harus jelas, dan harus menarik.
H. Rosihan Anwar (2004) (seorang jurnalis senior dan kawakan) menegaskan, bahwa ragam bahasa jurnalistik itu, sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan tata bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku. Pelanggaran atas hal itu akan menjadikan kualitas bahasa media massa bersangkutan menjadi rendah martabatnya merosot harkatnya. Pasalnya, penggunaan bahasa yang standar dan bahasa baku, salah satunya dimaksudkan atau ditujukan untuk memudahkan upaya pengembangan, memudahkan pemahaman, memunculkan harkat, dan menjadikan bermartabat.
Demikian pula dengan ikhwal kosakata atau perbendaharaan kata, bahasa ragam jurnalistik atau bahasa pers itu harus senantiasa mengikuti perkembangan kosakata yang terjadi dala masyarakat. Jadi  tidak sepantasnya bahasa dalam ragam jurnalistik bersifat terlalu berapatokan pada kamus semata, terlalu leksikosentris, pilihan kata-katanya tidak pernah membumi melainkan melangit, tidak banyak dikenal oleh publik pembicaranya, terlampau terpancang pada ke-arkhis-an atau kekunoan dari kata-kata, dan lain-lain.
Perlu kiranya dicatat, bahwa tidak semua kata terdapat dalam kamus atau daftar leksikon sebuah bahasa, dapat diterima pemakaiannya dan mudah dikenali karakter bahasanya oleh setiap bahasa warga masyarakat yang bersangkutan. Kata-kata di dalam Bahasa Indonesia yang terkesan masih relatif asing, relatif belum bisa digunakan. Kata pagu alih-alih kata batas atau ambang, kata memindai alih-alih kata mencermati atau memeriksa, kiranya perlu ditimbang-timbang lagi pemakaian dan kemunculannya dalam pers. Bilamana memang ada kata yang berciri sejenis di dalam Bahasa Indonesianya, katakan saja, bilamana terdapat sinonim atau padanan kata yang jauh lebih familiar sifatnya, maka gunaknalah bentuk-bentuk yang terakhir disebutkan itu. Gunakanlah kata-kata atau istilah-istilah yang lebih umum atau lebih familiar itu.
Jangan sampai kehadiran kata-kata baru, istilah-istilah yang kadang terkesan terlalu dipaksakan oleh sejumlah jurnalis, gejala-gejala verbalistis yang cenderung dicuatkan oleh sejumlah jurnalis, justru akan menyulitkan pembaca media massa bersangkutan, yang notabene berasal dari aneka latar belakang, sehingga akan menjadi suatu kesulitan dalam memahami. Dari sudut ini terlihat dengan jelas, bahwa ragam bahasa jurnalistik itu cenderung lebih berpihak pada menifestasi bahasa yang benar-benar dipakai dalam masyarakat. Bukan saja berada pada kata-kata yang melulu diciptakan oleh para ahli bahasa atau para linguis semata. Banyak kata di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), banyak pula daftar leksikon atau daftar istilah, yang tidak semuanya dapat diterima oleh warga masyarakat.
Banyak dari kata-kata itu juga tidak dipakai dalam keseharian berbahasa Indonesia. Untuk kata-kata dan istilah-istilah yang demikian itu, kiranya bukanlah pertama-pertama tugas dari pers atau media massa untuk mengenalkannya, maka sekali lagi, bersikaplah secara hati-hati dengan kata-kata yang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat pengguna. Jangan terlalu bersifat verbalistis ketika menggunakan kata-kata atau istilah-istilah baru, jangan terlampau asyik dengan diri Anda sendiri sebagai jurnalis dalam memainkan kata-kata atau istilah-istilah baru disepanjang teks Anda. Anda harus senantiasa ingat, bahwa khalayak pembacalah yang pertama-tama harus Anda utamakan. Jangan pertama-tama Anda sendiri, atau mungkin insan-insan di dalam lembaga pers Anda yang menjadi ukuran parameternya. Demikian juga ketika suatu saat Anda menemukan kata-kata atau istilah-istilah yang asing, bersikaplah dengan bijaksana dan seksama.
Kata-kata atau istilah asing itu dapat saja digunakan dalam bahasa ragam jurnalistik bilamana memang  tidak ada kata atau istilah yang lain dalam Bahasa Indonesianya, namun dalam penulisannya harus dengan cetak miring atau dengan cetak kursif. Akan tetapi, bilamana di dalam Bahasa Indonesia terdapat kata atau istilah tertentu sebagai padanan dari bentuk-bentuk asing tersebut, gunakanlah pertama-tama bentuk Bahasa Indonesianya. Hati-hati dengan gejala verbalitas yang cenderung merasuki sebagian warga masyarakat kita, dapat jadi juga kepada para jurnalis, karena fakta kebahasaan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa terhadap pemekaran dan pengembangan bahasa kita sendiri.
Dalam buku ini penulis hendak menegaskan, bahwa tidak ada orang yang menganggap wartawan atau jurnalis yan suka menulis dengan kata-kata asing, gemar beristilah kata-kata asing, dan verbalitas dalam kata-kata, dapat dengan serta-merta menjadikan dirinya tinggi nilai (unggul derajat) atau peringkatnya. Justru hal tersebut akan membuatnya mendapat cerca dan banyak umpatan, yaitu sebagai sosok jurnalis yang telah banyak mengingkari Bahasa Indonesia yang dimilikinya, atau sebagai wartawan yang tidak jelas posisi nasionalismenya dalam hal olah dan kiprah bahasa. Jadi sekali lagi, berhati-hatilah dengan kecenderungan untuk menjadi sangat verbalistis dalam berbahasa jurnalistik.
Bahasa jurnalistik Indonesia juga hendaknya banyak menggunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai rasa atau yang bersifat ikonis. Dengan memakai bentuk-bentuk bernilai rasa atau yang demikian itu, bahasa ragam jurnalistik yang sedang digunakan oleh jurnalistik itu tidak akan terlampau terlalu kaku dan terkesan gersang. Sebaliknya, justru akan menjadi semakin tegas dan kuat nuansanya. Misalnya, alih-alih menggunakan kata “ditembak petugas” gunakan saja istilah ikonis “didor petugas”. Untuk menekankan nilai rasa yang lebih, misalnya, orang akan menggunakan bentuk “menjebloskan Anu ke dalam penjara” daripada “memasukkan Anu ke dalam penjara”.
Demikianlah hendaknya para jurnalis di Indonesia itu harus banyak menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang memiliki nilai rasa, bentuk-bentuk yang bernilai ikonis dan afektif. Bahasa jurnalistik untuk media massa cetak hendaknya juga harus dibedakan dengan bahasa pers atau bahasa jurnalistik untuk media massa elektronik. Pasalnya, untuk yang pertama itu ragam bahasanya berciri tulis, sedangkan untuk yang kedua ciri bahasanya berkarakter tutur.
Bahasa tulis itu memiliki jatidiri atau identitas makna serta representasi bentuk yang tidak sama dengan sosok bahasa tutur. Aspek-aspek para linguistik, gerak-gerak kinesik, olah mimik dan intonasi suara, demikian juga jarak bertutur atau proksimik, menjadi sangat dominan dalam pemakaian bahasa tutur. Adapun tata ejaan, tata tulis, keapikan paragraf, kebakuan dan keefektifan kalimat, diksi atau pilihan kata yang sungguh tepat dan penyusunan-penyusunan kalimat yang berharkat dan bermartabat, sangatlah penting di dalam sosok bahasa ragam tulis. Jadi, jangan pernah kedua ragam bahasa itu dicampur adukkan, jangan sampai keduanya saling dirancukan pemakaiannya. Ketika anda menulis di dalam media massa cetak, jauhkanlah nuansa-nuansa dan karakter-karakter bahasa tutur di dalamnya, karena dapat menggoda jurnalis untuk selalu menggunakannya. Sebaliknya, ketika sedang berbahasa jurnalistik elektronik, jauhkanlah kelaziman-kelaziman dan keharusan-keharusan yang ada dalam bahasa ragam tulis.
Kelemahan umum dari kebanyak media cetak yang kita temui di sekitar kita selama ini adalah para jurnalis atau insan-insan  pers itu banyak yang tidak dapat membedakan dengan baik, teliti, dan bijaksana, apa itu sosok ragam bahasa tutur dan apa itu sesungguhnya sosok ragam bahasa tulis. Kelemahan inilah yang menjadikan bobot dari bahasa jurnalistik atau bahasa pers pada sebagian media massa cetak di negeri ini  terkesan cukup parah dan memprihatinkan.
Kedua jenis ragam bahasa yang sesungguhnya amat berbeda ciri dan sifatnya, amat berbeda identitas dan karakternya, dicampuradukkan dengan begitu saja. Kalau dicermati, banyak media massa cetak yang masih memerantikan bahasa secara kacau dan sangat berantakan. Kenyataan kebahasaan yang demikian inilah yang harus bersama-sama kita tangkas, kita tebas dan kita singkirkan, sehingga bahasa media massa cetak kita, ke depan akan menjadi benar-benar baik, dapat diandalkan lugas, cermat, dan terpercaya.
Hal yang sangat aneh jika media massa cetak yang dikonsumsi oleh khalayak banyak, dengan beragam kultur warga masyarakat dan berbeda-beda minat dan kesukaan bacanya, di dalamnya mengandung aspek kebahasaan yang semestinya tidak dibaca dan tidak diketahui oleh masyarakat, masih muncul juga di sana. Salah satu tugas utama media massa cetak, dalam kaitannya dengan pemakaian Bahasa Indonesia, adalah ikut serta menyebarluaskan kepada masyarakat banyak urgensi Bahasa Indonesia yang berjati diri sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Jadi, fungsi inilah yang harus bersama-sama diperjuangkan, terlebih-lebih oleh insan-insan pers, oleh para jurnalis profesional, yang berjati diri sebagai gate-keepers dari tepat, cermat, dan apiknya pemakaian bahasa kita.
E.       Problematika  dalam Kalimat Jurnalistik Efektif
1.      Subjek dan atau predikat tidak eksplisit
·         Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terkini itu perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak, sehingga pada masa mendatang tidak akan ada seorangpun yang menuntut ganti rugi.
·         Di dalam keputusan itu sesungguhnya merupakan kebijaksanaan yang dapat menguntungkan banyak pihak, sehingga perlu kita dukung bersama.
2.      Subjek dan predikat kalimat terpisah terlalu jauh
·         Mereka, selagi kami sedang berdua dengan pacar sambil berdiiri di atas jembatan layang, asyik bercakap-cakap dan memandangi perahu-perahu yang meluncur dengan cepat di bawah sana, melemparkan sesuatu ke dalam sungai, lalu tertawa lepas secara bersama-sama.
3.      Keterangan yang tidak tepat penempatannya
·         Tahun Akademin 2005/2006 mendatang ini, SPP dan DPP bagi mahasiswa baru dinaikkan. (squinting modifier – keterangan yang bersifat menjuling atau menyerong).
·         Agar dapat sedikit demi sedikit menurunkan berat badan, maka makanan-makanan berlemak dan berkabohidrat terlalu tinggi harus senantiasa dihindarkan. (dangling modifier – keterangan yang berciri menggantung).
·         Dalam keramaian yang serupa dengan acara itu, merekapun tidak pernah mau kalah dengan mereka yang masih muda, yang jarang terjadi bahkan sekali dalam lima tahun itu. (misplaced modifier – keterangan yang salah letaknya).
·         Parkir di dalam halaman toko swalayan yang ramai sekali di sebuah pinggiran kota itu bebas parkir. (unidiomatic midifier – keterangan yang sifatnya tidak idiomatis).
·         Kami dengan tegas berkeputusan, karena keluarga sama sekali tidak setuju, untuk tidak berangkat saja ke Jakarta minggu depan ini. (abrupt modifier – keterangan yang sifatnya mendadak hadir).
·         Meskipun guru Bahasa Inggris baru yang mengalami kecelakaan itu kini masih berasa di dalam perawatan dokter rumah sakit, kegagalannya dalam memberitahukan absensinya tersebut kepada sang kepala sekolah tidak diterima, biarpun sebenarnya ternyata ia sudah berusaha memberitahukan itu kepadanya. (illogically separated modifier – keterangan yang terpisah secara tidak logis).
·         Agar mendapat kesempatan untuk belajar membaca dan latihan menulis di media massa cetak. (fragment – kalimat yang tidak lengkap, kalimat yang buntung atau menggantung).
4.      Kalimat yang hadir bertumpukan (running-on sentences)
·         Kita semua harus bersedia dalam mengemban amanat penderitaan rakyat, harus selalu berusaha keras untuk mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh bangsa, demikian juga keamanan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, baik itu yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
5.      Tanda koma yang dipakai secara ceroboh (comma faults)
·         Seorang mahasiswa seumpama, saja dia seorang pendaki gunung sejati sedang terus mendaki dan terus-menerus mendaki gunung yang tinggi itu, yaitu gung cita-cita yang amat tinggi.

6.      Kalimat rancu
·         Di sekolah internasional itu para siswa diajarkan berbagai macam keterampilan dan aneka kemahiran dalam berbahasa asing dan dalam hal teknologi informasi.
·         Di sekolah kami dipelajarkan berbagai macam kepandian bagi kaum wanita mulai memasak makanan sendiri, merias wajah, menata bunga untuk meja, hingga membuat kerajinan tangan untuk dijual atau dipasarkan.
·         Dalam Bahasa Indonesia sama seklai tidak menganl bentuk yang sifatnya jamak atau plural seperti halnya di dalam Bahasa Inggris dan pada bahasa-bahasa barat lainnya.
7.      Kalimat mengandung bagian-bagian yang pleonastis
·         Pada zaman dahulu kala, di dalam sebuah kerajaan yang cukup besar di daerah Bantul Barat, memerintah  seorang ratu putri cantik yang sangat arif lagi amat bijaksana sekali.
·         Suaminya sering pulang pagi puluk 03.00 atau 02.00 dini hari sekali dalam keadaan mabuk, sempoyongan, dan serba lusuh di sekujur tubuh dan pakaiannya.
8.      Kalimat yang mengandung gejala hipokrotek atau membetulkan apa yang sudah betul mejadi salah
·         Semua izazahnya harus dilaminasikan terlebih dahulu di unit 3 lantai 2 supaya  dapat lebih awet.
·         Perlakuannya telah benar-benar melanggar hak-hak yang sungguh paling azazi bagi umat manusia.





BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Ciri-Ciri Media Cetak
Secara umum, sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers harus memerhatikan ciri-ciri yang amat mendasar berikut ini. Seorang jurnalis sejati dan juga para calon jurnalis, mesti memahami kelima ciri antara lain: komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, jelas mubazir atau tidak klise.

2.      Ciri-Ciri Kalimat Jurnalistik Yang Efektif
Kalimat jurnalistik yang efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan atau pikiran pada diri pembaca, seperti apa yang ada di dalam pikiran dan benak penulisanya. Kalimat jurnalistik yang demikian ini juga harus memiliki kandungan kata-kata tertentu yang bernilai rasa, berciri ikonis, dan kadangkala bersifat anomatopis, sehingga makna atau maksud penyampaian idea tau pokok pikiran itu dapat terjadi dengan baik.

3.      Prinsip Penyusunan Kalimat Efektif
Dalam hemat penulis, terdapat sedikitnya 10 prinsip dasar bagi para jurnalis atau insane pers dan bagi para calon jurnalis untuk menyusun kalimat-kalimat jurnalistik dalam setiap karyanya.

4.      Bahasa Jurnalistik Indonesia
H. Rosihan Anwar (2004) (seorang jurnalis senior dan kawakan) menegaskan, bahwa ragam bahasa jurnalistik itu, sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan tata bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku.

5.      Problematika Dalam Kalimat Jurnalistik Efektif
1.      Subjek dan atau predikat tidak eksplisit
2.      Subjek dan predikat kalimat terpisah terlalu jauh
3.      Keterangan yang tidak tepat penempatannya
4.      Kalimat yang hadir bertumpukan (running-on sentences)
5.      Tanda koma yang dipakai secara ceroboh (comma faults)
6.      Kalimat rancu
7.      Kalimat mengandung bagian-bagian yang pleonastis
8.      Kalimat yang mengandung gejala hipokrotek atau membetulkan apa yang sudah betul mejadi salah

DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, Kunjana. 2011. Bahasa Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia