I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang yang menggunakan sastra untuk
menunjukan perasaan yang sedang dialaminya, baik dalam bentuk puisi, pantun, cerpen
dll. Bahkan dalam keseharian setiap hari banyak juga orang yang tanpa
disadarinya menggunakan bahasa sastra tersebut. Namun di sisi lain, apakah
mereka mengetahui apa yang dimaksud dengan sastra dan apa perbedaan bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari. Oleh
karena itu, mari kita melihat lebih jauh seperti apa bahasa dalam karya sastra
itu.
1.2
Rumusan masalah
Ø Mengapa
bahasa sastra disebut sebagai bahasa khas: retorik, stilistik?
Ø Bagaimana
fungsi bahasa yang disebut puitik dalam teori Jokobson?
Ø Bagaimana
penerapan dan penggarapan teori Jokobson?
Ø Bagaimana
kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson?
Ø Bagaimana
kritik sosiologis terhadap teori Jokobson: Marry Louise Pratt?
Ø Bagaimana
teori sastra Pratt?
Ø Bagaimana
beberapa kesimpulannya?
1.3
Tujuan
Ø Untuk
mengetahui mengapa bahasa sastra disebut sabagai bahasa khas: retorik, stilistik.
Ø Untuk
mengetahui fungsi bahasa yang disbut puitik dalam teori Jokobson
Ø Untuk
mengetahui penerapan dan penggerapan teori Jokobson
Ø Untuk
mengetahui kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson
Ø Untuk
mengetahui kritik sosiologis terhadap teori Jokobson; Marry Louis Pratt
Ø Untuk
mengetahui teori sstra Pratt
Ø Untuk
mengetahui beberapa kesimpulan
II.
PEMBAHASAN
2.1.
Bahasa Sastra Sebagai Bahasa Khas: Retorik,
Stilistik
Pandangan bahwa bahasa sasrta adalah bahasa yang khas
sudah luas tersebar. Pemakaian bahasa itu dianggap menyimpang dari bahasa
sehari-hari. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut ada benarnya. Setiap
orang tahu bahwa penyair seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa. Namun
tidak semua bahasa puisi menggunakan bahasa yang menyimpang dari bahasa yang disebut bahasa sehari-hari.
Dalam ilmu sastra sejak dahulu
keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra, khususnya dalam puisi, ditonjolkan.
Sudah semenjak abad ke-5 dibedakan dua artes (ars adalah kepandaian, teknis ilmiah, sistem aturan; baru kemudian
dalam bahasa Prancis dan Inggris art
berkembang maknanya menjadi ‘seni’) yang masing-masing diberi nama grammatica
dan rhetorica; grammatical meliputi recte
loquendi scientia, ilmu untuk
berbicara secara tepat, dan poetarum
enarratio, semaca ilmuu sastra (Latin,sudah tentu); retorika adalah ars bene dicendi, kepandaian
mengatakan sesuatu secara baik, yang
pada awalnya mengacu pada
pengertian kepandaian orator, tukang pidato (ahli) yang
kemudian juga meliputi pemakaian bahasa dalam sastra: Mulai dari abad ke-4 “elle se confondit avec la notion memede
literature” ( Zumthor 1971:50 retorik bercampr bbaur dengan konsep sastra itu
sendiri. Jelaslah dari perkembangan retorik ini bahwa sejak dahulu sastra dalam
artian yang terbatas tidak dibedakan dari pemakaian bahasa secara baik yang
lain.
Sastra menyediakan norma untuk
pemakaian bahasa yang baik. Dalam hal ini juga sangat ditekankan aspek
pragmatik yang sejak dahulu memainkan pranan penting dalam retorika. Seorang
pengacara, negarawan, pendeta, harus mempengaruhi pendengarnya dengan pemakaian bahasa yang
tepat dan baik. Demikian pula penyair harus mengusahakan persuasi (persuasio); didalamnya dibeda-bedakan 3
aspek: docere (mengajar), delectare ( memberi nikmat), dan movere (menggerakan). Jelaslah ars
bene dicendi tidak terbatas pada penyair
atau pencipta sastra, pengrtian sastra pada waktu itu jauh lebih luas
dari yang kita anggap sastra dijaman modern. Licentia poetarum
keleluasaan penyair, segala macam keistimewaan,pemakaian bahasa,
perhiasan dll. Retorika seringkali
menjadi sitem normative atau preskriptif, yaitu menentukan norma-norma yang
harus di terapkan dalam pemakaian bahasa yang baik dan indah.
Pada jaman modern stilistik
seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik,
ilmu gaya bahasa. Pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan
ciri kha seorang penulis, aliran sastra dll. Ilmu gaya bahasa berhasil
menentukan secara cukup tegas,misalnya, pemakaian
bahasa seorang penyair atau kelompok penyair.
Stilisti berusaha dan berhasil menetapkan keistimewaan pemakaian bahasa secara insidental.
2.2. Fungsi Bahasa yang Disebut Puitik dalam Teori
Jakobson
Dalam bab 2 sudah diuraikan bahwa
Jakobson dalam model semiotik tentang pemakaian bahasa membedakan enam fungsi bahasa, satu diantaranya adalah
fungsi puitik.jakobson menjelaskan pula fungsi itu tidak biasa terdapat secara
terisolasi; dalam pemakaian bahasa manapun
juga satu diantara enam fungsi itu dominan. Tetapi fungsi-fungsi lainpun
selalu hadir,secara sampingan. Misalnya kalau terpijak paku saya lalu menjerit
“aduh!” mungkin sekali fungsi yang
dominan ialah ekspresif atau emotif, menurut istilah jakobson, mengungkapkan
rasa sakit, namun adapula fungsi fatik
dalam artian bahwa saya mangadakan
situasi komunikatif dengan barangsiapa
yang kebetulan hadir, fungsi konatif,
appeal ada pula, yaitu saya juga
minta perhatian, atau minta tolong atau
mengharapkan rasa sayang dari orang tadi.
Demikanlah dalam pusi (dan sastra
umumnya, tetapi Jokobson khususnya membicarakan
puisi sebagai bentuk sastra yang paling khas dan tipikal) fungsi puitiklah yang dominan. Dalam
fungsi puitik bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu yang penting
tetapi kata pemakaian bahasa itu sendiri
yang menjadi pusat perhatian walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam
puisi. Terutama acuan yang pada prinsipnya
menunjuk pada sesuatu diluar
ungkapan bahasa itu, dalam puisi harus kita ambil dan bina atas dasar kata massage itu saja, misalnya:
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Aku disini tidak seperti dalam
bahasa sehari-hari mengacu pada pembicara, pemakai bahasa itu yaitu Chairil Anwar, malainkan pada seorang
yang ke-aku-annya kita jabarkan atas
bahan sajak ini sendiri. bedasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa
Indonesia lepas dari acuan yang konkrit dalam kenyataan (realitas). Demikian
pula dengan binatang, yang dipakai secara metafora,dengan jalang dan dengan sagala macam gejala lain yang kita temui dalam
bahasa sajak ini; rima, irama, dll. Oleh karena tidak ada acuan diluar sajak
itu yang diketahui dan disetujui baik
oleh pengirim maupun oleh penerima pesan (dengan kata lain oleh dominanya fungsi
puitik terhadap fungsi referensial), maka puisi mungkin sekali menjadi
ambigu,bemakna ganda.
Jokobson kemudian menguraikan:
prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi. Dengan rumusan yang cukup terkenal
dikatakannya “The poetic function projects the principle of equivalence from
the axis of selection into the axis of combination”. (Jokobson 1968:358: fungsi
poetic memproyeksikan prinsip ekuivalen dari poros seleksi parataksis, juga
boleh disebut paradigmatik, ke poros kombinasi, sintaksis).
Contoh: Plett (1975:129 berdasarkan
Wunderlich). Dalam ungkapan” Horrible
Harry!”, pemakai bahasa yang menekan kan fungsi puitik memilih kata horrible diantara
sejumlah kata sinonim, misalnya dreadful,terrible,frightful,
disgusting, karena adanya ekuivalensi tertentu antara horrible
dengan harry, ekuivalensi bunyi yang biasa disebut aliterasi. Secara skema
hal ini dapat digambrkan sebagai berikut :
Dreadful
Terrible
Frightful
Disgusting
Horrible Harry poros sintaktik
Poros paraktaktik
Inilah prinip dasar bahasa putik menurut
Jakobson.
2.3.
Penerapan dan Penggarapan Teori
Jakobson
Demikian
Jakobson dalam banyak studi khas yang mengandung analisis sajak tertentu
memperlihatkan apa yang dimaksudkannya dengan prinsip ekuivalensi. Contoh yang
terkenal dalam hubungan ini adalah tulisan Jakobson bersama dengan Claude Levi
Strauss, seorang antropolog yang terkenal; di dalamnya mereka mengupas sebuah
sajak Charles Baudelaire yang berjudul Les Chats (1962).
Dalam tulisan
ini sajak tersebut dikupas secara sangat mendetail dengan menunjukkan segala
macam ekuivalensi yang terdapat di dalamnya, ekuivalensi bunyi, tata bahasa
(morfologi dan sintaksis), dan ekuivalensi semantik yang memang
berlimpah-limpah dalam sajak tersebut. Kupasan ini merupakan contoh yang sangat
baik dan mengesankan tentang apa yang disebut Jakobson the grammar of poetry
(Jakobson 1968).
Prinsip
ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Disini setiap
ulangan konsep tatabahasa yang sama yang dapat diamati, menjadi sarana puisi
yang tepat guna.Setiap deskripsi yang tak berprasangka, hati-hati dan
menyeluruh, tentang seleksi, pembagian dan keterjalinan berbagai kategori
morfologis dan konstruksi sintaksis dalam sajak tertentu mengejutkan si
peneliti dengan simetri dan anti simetri yang menarik, struktur yang seimbang,
akumulasi yang tepat dari bentuk yang sejajar dan pertentangan yang menonjol,
akhirnya dengan pembatasan yang cukup ketat dalam repertoar konstituen
morfologis dan sintaksis yang terpakai dalam sajak itu, penyingkiran yang dari
segi lain memungkinkan kita untuk mengikuti keterjalinan yang mempesona antara
konstituen yang terlaksana. (Jakobson 1968: 602-3).
Perlu
dijelaskan sembagai tambahan hal yang ditekankan Jakobson bahwa sebagai variasi
terhadap ekuivalensi justru juga sering kali dipakai penyimpangan dari
ekuivalensi dan disebut antisimetri, misalnya penyimpangan dari rima atau matra
yang diharapkan, yang justru memperkuat efek estetik; disinipun ketegangan
antara aturan dan inovasi, antara convention dan invention
memainkan peranan yang penting.
Demikian
Jakobson mengembangkan teori tentang kekhasan fungi puitik dan prinsip yang
mendasari puisi, yang sekaligus menjadi kerangka analisis structural sebuah
karya sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan peneliti dari berbagai mazhab
atau aliran structural. Karya sastra dianggap sebagai struktur mandiri yang
dapat dan harus dianalisis dalam kebulatannya sebagai struktur kebahasaan,
tetapi lepas dari acuan pada kenyataan, realitas diluar sajak itu. Sudah tentu
Jakobson sendiri tidak pernah lupa bahwa walaupun fungsi puitik menjadi dominan
dalam sastra, namun tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi; dan dalam
publikasi lain dalam kerangka yang berbeda, Jakobson menunjukkan relevansi
sastra dari segi kemasyarakatan.
2.4. Kritik Riffaterre atas Pandangan Jakobson
Namun begitu,
dan walaupun hasil analisis Jakobson dan kawan-kawannya sering gilang-gemilang,
kritik terhadap pendekatan strukturalis yang khusus bersifat linguistic, tak
kurang sengitnya. Kritik itu datang dari berbagai pihak, dan bermacam-macamlah
sifatnya pan pendekatannya; seringkali dikemukakan bahwa Jakobson hanya
memperhatikan aspek linguistic dalam artian yang terbatas saja, dengan
mengabaikan aspek-aspek lain: aspek pragmatic dan ekspresif (jadi peranan
pembaca dan penulis yang boleh ditiadakan), sedangkan aspek referensial pun
menurut beberapa pengkritik oleh Jakobson sangat dianggap enteng. Terutama
kritik terakhir ini makin keras, sebab menurut anggapan ini pendekatan Jakobson
mengakibatkan penghilangan relevansi sosial karya sastra, dan sastra menjadi
sesuatu yang tergantung di awang-awang. Tetapi disini perlu kita perhatikan dua
macam kritik yang lebih langsung berhubungan dengan masalah bahasa puisi
sebagai bahasa yang khas.
Pertama-tama
patut dibicarakan Michael Riffaterre. Dia tidak melawan prinsip strukturalisme
sendiri, tetapi dia secara sangat peda mengecam analisi sajak Les Chats
seperti diberikan oleh Jakobson dan Levi-Strauss yang dianggapnya penerapan
prinsip strukturalisme yang tidak tepat. Riffaterre sendiri adalah guru besar
sastra Perancis Columbia University di New York dan dalam karangan yang cukup
panjang diberikannya sebuah analisi alternative mengenai sajak yang sama
(Riffaterra 1966).
Dalam bahasa
itu Riffaterra mengemukakan pendapat bahwa bukan linguislah yang menentukan apa
yang relevan dalam sebuah sajak, betapapun halusnya analisi linguistic yang
diberikannya. Yang menentukan makna sebuah sajak ialah pembacanya; berdasarkan
pengalamannya sebagai pembaca puisi, dengan segala kemampuan dan pengetahuannya
dialah yang dapat menetukan apa yang relevan, dan mempunyai fungsi puitik dalam
sajak. Analisis linguistic pada satu pihak tidak cukup dan pada batas lain
melampaui batas kemampuanseorang pembaca.
Sajak adalah
lebih dari struktur tatabahasa saja tetapi “no grammatical analysis of a poem
can give us more than the grammar of the poem”. RIffaterra menonjolkan sajak
sebagai sarana komunikasi, yang berfungsi dalam konteks stilistik (istilah
RIffaterra) yang sama dengan konteks harapan pembaca. Harapan itu ditentukan
oleh segala sesuatu yang pernah dibaca oleh pembaca itu, sehingga sajak
mendapat makna dalam konteks keseluruhan puisi Perancis yang ditulis sebelumnya
(dalam hal ini sebelum sajak Baudelaire yang bersangkutan).
Peneliti harus
membina semacam superreader, sebagai sarana pengupasan: superreader
adalah gabungan segala response terhadap sajak yang dapat dikumpulkan,
sejauh response itu dilepaskan dari unsure subyektif di luar tindak
komunikasi (1966: 203). Riffaterra mengajukan pendekatan yang bersifat
semiotic, jadi yang berarti antara lain bahwa pertentangan antara meaning
(arti) dan significance (makna) memainkan peranan yang sangat penting,
dalam membaca puisi meaning yang kita berikan pada kata harus sesuai
dengan mimetic atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance
berdasarkan penafsiran pertentangan dengan atau penyimpangan dari arti mimetic
yang kita temukan, antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.
Sebab “a poem
says one thing and means another” (Riffaterra 1978: 1); kata-kata itu dalam
konteks sajak makna, justru kontras dengan arti biasa. Aspek puisi yang
terpenting justru adalah ketegangan antara arti mimetic unsure bahasa dan makna
semiotiknya. Menurut Riffaterra hal itulah yang ditiadakan atau tidak
ditonjolkan dalam analisis seperti disajikan oleh Jakobson. Teori Riffaterra
kemudian dibulatkannya secara sistimatik dalam buku Semiotics of Poetry
(1978) yang sangat mengesankan. Teori Riffaterra oleh Plett (1975: 134) bukan
tanpa alasan disebut “eine pragmatische Variante des literature-immanenten
Strukturalismus” (varian pragmatic dari strukturalisme yang imanen dalam sastra
itu).
2.5. Kritik Sosiologis Terhadap Teori Jakobson: Mary Louis Pratt.
Kritik lain yang tak kurang sengit dan mendasar terhadap
Jakobson dan semua aliran strukturalis yang menonjolkan fungsi puitik sebagai ciri khas dengan segala
konsekuensinya untuk analisis struktur, diajukan dari pihak lain yaitu dari
segi sosiolinguistik. Salah satu contoh disini membicarakan secara singkat
pemikiran ahli bahasa Amerika Serikat yang bernama Mary Louis Pratt. Judul
bukunya menjelaskan latar belakang
pendekatanya: Toward a Speech Act
Theory of Literary Discourse (1977). Tuntutan dasar
yang diajarkan oleh buku ini: “literary must be viewed as a use rather than a
kind of language” (wacana sastra harus dipandang sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan
sebagai ragam bahasa tertentu).
Titik loncat uraiannya, dalam bab
kedua bukunya, adalah hasil penelitian Labov, ahli sosiolinguistik yang tenar,
khusunya mengenai yang disebut natural
narrative, narativ alamiah Labov pernah memberi kupasan yang panjang lebar
dari ujaran seseorang sambil omong-omongan secara alamiah dengan dibumbuhi
dengan bermacam komentar dan selingan. Dari analisi tersebut dapat dijelaskan
bahwa segala ciri yang biasanya dianggap khas terhadap karya sastra terdapat natural narrative yang direkam dalam situasi ujaran alamiah: koherensi,
struktur naratif, point of view,
pemakaian unsur bahasa yang khas. Sebagai salah satu contoh naratif alamiah
tidak berarti apa-apa, baik secara prinsip maupun secara faktual dan bahasa
sehari-hari, segala unsur khas yang terdapat dalam naratif tadi dapat ditemukan
pula dalam pemakaian bahasa yang normal. Kesimpilannya: literariness tidak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa.
Akibatnya dalam pandangan Pratt,
untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra: “The point of
depature gets shifted from the massage...to the addresser, the addressee, and
the context” (halaman 74), jadi titik tolak dari penelitian ilmiah bergeser
pada pesan kepada pengirim, enerimaan dan konteks; demikieanlah estetika bahasa
dikembalikan ketataran yang layak. “there is no such thing as poetic language,
there are only poems” (tidak ada sesuatu sepperti bahasa puitik, yang ada
hanyalah sajak) (halam 78 kutipan dri Handricks).
Orang dari aliran aliran formalis
dan strukturalis tidak suka akan pendekatan dan kesimpulan ini, kata Pratt;
mereka suka melepaskan teks kesastraan dari pengarang dan konteksnya, dan
dengan demikian menjadilah relevansinya untuk kehidupan kemasyarakatan; tidak
seara kebetulanlah ada hubungan pendekatan strukturalis dan formalis dengan art forart’s sake (seni untuk seni),
teori Pratt yang harus ditempatkan dalam perkembangan linguistik yang disebut speech act theory dan discourse anlysis, ingin mengambalikan
ilmu sastra kepada masyarakat, tempatnya yang wajar:”a socially based,
use-oriented linguistics is a pre-requisite toward sealing the breach between formal
and sociological approaches to literature (ilmu bahasa yang berdasakan sosial
dan yang terarah kepemakaian merupakan prasarana untuk menutup pecahan antara
pendekatan sastra yang formal dan yang sosiologik, halaman XIX).
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang
terbaru (speech atr theori) ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa
melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal
saja. Pemakaian bahasa dalam situasi tertentu sebagian besar ditentukan oleh
konvensi, kondisi dan aturan non-verbal
(bukan bahasa) berhasil tidaknya pemakaian bahasa sebagai sarana komunikasi.
Makna sebuah karya sastra baru dapat kita pahami sebab kita tahu sebelumnya
bahwa karya itu adalah karya sastra yang berdasarkan konvensi dan aturan
tertentu. “Clearly, it is the reader the massage in a literary speech
situation, not the massage that focuses
on in self,” katanya, dan dengan demikian dia eksplisit dan tugas menentang
pendirian Jakobson (jelaslah, yang memusatkan perhatian pada pesan situasi
ujaran kesastraan ialah si pembaca, bukan pesan itu sendiri, halaman 88).
2.6. Teori Sastra Pratt
Dalam bukunya Pratt bermaksud
meletakkan dasaruntuk “context dependent theory of literature”, sebuah teori
sastra yang tergantung pada kontek. Yang dimaksud dengan konteks adalah keadaan
sosial artian yang luas, yang mengitari dan memberi tumpuan pada tindak ujaran.
Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam komunikasi kesastraan:
a.
Pembaca telah menerima
peranan sebagai audience dalam
situasi menaggapi pesan sastra; misalnya hak jawab (yang normal dalam
komunikasi sehari-hari). Peran audience tidak aktif dalam komunikasi lewat
suara, bukan bagian khas dari retorika tulisan rekaan (fiction); peran tersebut
merupakan situasi yang lebih umum.
b.
Konvensi kedua yang sangat
penting disebut Pratt confention of
definitiveness, pre-paration and pre-selection : maksudnya adalah pembaca
yang mulai membaca karya sastra telah
tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan.
Untuk membuat bacaan tersebut membutuhkan proses penyediaan, penyaringan,
pengujian dan pemantapan dengan jaminan nilai, sesuai dengan nilai sastra
konvensionalyang berlaku dalam masyarakat, atau dalam kelmpok tertentu dalam
masyarakat.
c.
Pratt juga membicarakan
panjang lebar tentang ciri-ciri krya sastra yang disebut tellability ;istilah itu bersama, tetapi juga bertentangan, dengan
assertability. Assertion adalah pernyataan yang dipakai seseorang sebagai ungkapan
yang ditujukan kepada lawan bicaranya dengan maksud membujuk agar lawan bicara
mempercayai dan mengetahui sesuatu. Assertability
sifat sebuah pesan ynag dianggap menarik, relevan untk disampaikan kepada
lawan bicaradengan harapan dan dia bersedia mengatahui dan mempercayainya.
Tellability
itu juga menjadi ciri khas sastra walaupun
secara ekslusif, dengan dua sifatnya yang khas, yang justru dalam sastra sangat
sering digunakan dan dimanfaatkan secara special: detachability, yaitu mudah dilepaskan dari konteks ujaran yang
langsung (the immediate speech context) dan
susceptibility to elaboration (rentan untuk
diperluas). Berdasarkan pendekatan ini Pratt dengan panjang lebar membahas
konvensi-konvensi khas yang berlaku atau diterapkan dalam hal ungkapan yang
disebut rekaan. Konvensi yang secara istimewa dapat dipergunakan, dimainkan,
diberi fungsi yang khas dalam karya sastra.
Oleh karena itu kita akan tahu
bahwa situasi karya rekaan dapat dipertentangkan karya bahasa lain, karena kita
tahu syarat-syarat dan sifat-sifatnya sebagai karya rekaan, kita berhasil
membacanya dan menafsirkanya secara efektif. Konvensi yang sederhana misalnya :
kita tahu bahwa kita harus membedakan antara peran juru kisah (narator) dalam roman dan peran
tokok-tokoh yang berbicara, misalnya dalam dialog. Dalam roman tradisional mau
tak mau rekaan yang kita hadapi disamakan dengan situasi yang mungkin pernah
dialamidalam kenyataan oleh karena itu sifat dan perilaku didasarkan dengan
sifat manusia yang ada disekitar kita.
Tetapi didalam roman moder, nouveau roman Prancis misalnya, dan juga
dalam roman Indonesia modern, misanya tulisan Putu Wijaya dan Iwan Simatupang,
dalam tulisan roman modern tersebut kita memberi jaminan bahwa yang kita baca
harus mempunyai makna yang masuk akal.
Pratt menambahkan bahwa
penyimpangan dan anehan yang terdapat dalam roman modern, baik di Barat maupun
di Indonesia bukan hanya perkara permainan saja: bukan
penyimpangan-penyimpangan itu: untuk penulis roman situasi ujaran yang normal
tidak dapat disesuaikan dengan pandangan mereka terhadap pengalaman-pengalaman
zaman sekarang ini. Penyimpangan mereka (roman zaman dulu) adalah protes,
pernyataan perang terhadap roman biasa yang norma-normanya dianggap terlalu
memantapkan establisment memapankan
keadaan sosial yang ada. Dalam arti yang cukup lebih daripada hanya permainan
formal saja roman modern harus disebut subversif, protes terhadap masyarakat
modern yang dianggap buruk dan jahat. Untuk mengembangkan sastra modern kita
harus menyadari latar sastra dari segi sosiolinguistik dimana sastra mengalami
perkembangan ilmu yaitu ilmu sastra.
2.7. Beberapa Kesimpulan
Dari berbagai segi, dan dengan alasan
yang berbeda-beda telah dibuktikan
secara cukup meyakinkan bahwa fungsi puitik bahasa sendiri tidak cukup untuk membuktikan sastra sebagai
gejala kemasyarakatan dan sebagai cara memakai bahasa yang istimewa.
Culler, (1975:116) dalam bukunya
yang berjudul Structuralist poetics mengatakan “tuturan yang hanya mempunyai arti dalam sangkutannya
dengan sistem konvensi yang di kuasai oleh pembaca; dia memakai istilah
literary competence, yang dijelaskannya sebagai “a seet of conventions for reading letarary texts”
(seperangkat konvensi untuk membaca teks kesastraan,118). Sastra ialah yang
dalam masyrakat tertenu dianggap sastra sesuai dngan konvensi yang pada waktu
itu berlaku dalam masyarakat itu;
konvensi itu bermacam-macam sifatnya; ada tyang pragmatik, tentang peran
pembaca, ada yang ekspresif tentang peran penulis, adapula yang mimetik yaitu
hubungan sastra dengan kenyataan .
Fungsi puitik Jokobson tidak memberi
kemungkinan untuk membatasi karya sastra terhadap tulisan atau ungkapan lain, tidak
merupakan cirri distinktif sastra terhadap bukan sastra. Pendekatan Jokobson
memberi kemungkinan untuk meneliti kekhasan pemakaian bahasa dalam karya-karya
yang telah terbuti sifat kesastraannya
dan untuk merincikan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kebahasaan yang dalam masyarakat itu berlaku untuk
sastra. Tidak ada hanya satu deefinisi universal saja tentang sastra. Sastra
sebagai gejala kemasyarakatan dapat dikatakan sebagai gejala universal, tidak
ada masyarakat manusia tanpa sastra; tetapi aktualisasi, konkretisasi gejala sastra dalam masyarakat yang berainan
memperlihatkan perbedaan dan berbagai
ciri-ciri khas.
III.
PENUTUP
3.1. Simpulan
Definisi
tentang sastra tidak hanya satu yang universal sebab suatu karya akan disebut
karya sastra dalam masyarakat tertentu berdasarkan konvensi-konvensi yang dalam
masyarakat itu berlaku untuk sastra.
3.2. Saran
Bagi
pembaca diharapkan setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami dan
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan karya sastra dan bahasanya.
Merit Casino in CT: How to use it and earn
BalasHapusMerit Casino in CT: How to worrione use it and earn money 메리트카지노 in CT. febcasino