Senin, 01 September 2014

KARYA SASTRA DAN BAHASANYA



I.               PENDAHULUAN

1.1         Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang yang menggunakan sastra untuk menunjukan perasaan yang sedang dialaminya, baik dalam bentuk puisi, pantun, cerpen dll. Bahkan dalam keseharian setiap hari banyak juga orang yang tanpa disadarinya menggunakan bahasa sastra tersebut. Namun di sisi lain, apakah mereka mengetahui apa yang dimaksud dengan sastra dan apa perbedaan bahasa sastra dengan  bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, mari kita melihat lebih jauh seperti apa bahasa dalam karya sastra itu.
1.2     Rumusan masalah
Ø  Mengapa bahasa sastra disebut sebagai bahasa khas: retorik, stilistik?
Ø  Bagaimana fungsi bahasa yang disebut puitik dalam teori Jokobson?
Ø  Bagaimana penerapan dan penggarapan teori Jokobson?
Ø  Bagaimana kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson?
Ø  Bagaimana kritik sosiologis terhadap teori Jokobson: Marry Louise Pratt?
Ø  Bagaimana teori sastra Pratt?
Ø  Bagaimana beberapa kesimpulannya?











1.3         Tujuan

Ø  Untuk mengetahui mengapa bahasa sastra disebut sabagai bahasa khas: retorik, stilistik.
Ø  Untuk mengetahui fungsi bahasa yang disbut puitik dalam teori Jokobson
Ø  Untuk mengetahui penerapan dan penggerapan teori Jokobson
Ø  Untuk mengetahui kritik Riffaterre atas pandangan Jokobson
Ø  Untuk mengetahui kritik sosiologis terhadap teori Jokobson; Marry Louis  Pratt
Ø  Untuk mengetahui teori sstra Pratt
Ø  Untuk mengetahui beberapa kesimpulan













II.          PEMBAHASAN

2.1.       Bahasa  Sastra Sebagai Bahasa Khas: Retorik, Stilistik
Pandangan  bahwa bahasa sasrta adalah bahasa yang khas sudah luas tersebar. Pemakaian bahasa itu dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut ada benarnya. Setiap orang tahu bahwa penyair seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa. Namun tidak semua bahasa puisi menggunakan bahasa yang menyimpang  dari bahasa yang disebut bahasa sehari-hari.
Dalam ilmu sastra sejak dahulu keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra, khususnya dalam puisi, ditonjolkan. Sudah semenjak abad ke-5  dibedakan dua artes (ars adalah kepandaian, teknis ilmiah, sistem aturan; baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggris art berkembang maknanya  menjadi  ‘seni’) yang masing-masing diberi nama  grammatica dan rhetorica; grammatical meliputi recte loquendi  scientia, ilmu untuk berbicara secara tepat, dan poetarum enarratio, semaca ilmuu sastra (Latin,sudah tentu); retorika adalah ars bene dicendi, kepandaian mengatakan  sesuatu secara baik, yang pada awalnya  mengacu pada pengertian  kepandaian orator, tukang pidato (ahli) yang kemudian juga meliputi pemakaian bahasa dalam sastra:  Mulai dari abad ke-4  “elle se confondit avec la notion memede literature” ( Zumthor 1971:50 retorik bercampr bbaur dengan konsep sastra itu sendiri. Jelaslah dari perkembangan retorik ini bahwa sejak dahulu sastra dalam artian yang terbatas tidak dibedakan dari pemakaian bahasa secara baik yang lain.
Sastra menyediakan norma untuk pemakaian bahasa yang baik. Dalam hal ini juga sangat ditekankan aspek pragmatik yang sejak dahulu memainkan pranan penting dalam retorika. Seorang pengacara, negarawan, pendeta, harus mempengaruhi  pendengarnya dengan pemakaian bahasa yang tepat dan baik. Demikian pula penyair harus mengusahakan persuasi  (persuasio); didalamnya dibeda-bedakan 3 aspek: docere (mengajar), delectare ( memberi nikmat), dan movere (menggerakan).  Jelaslah ars bene dicendi tidak terbatas pada penyair  atau pencipta sastra, pengrtian sastra pada waktu itu jauh lebih luas dari yang kita anggap sastra dijaman modern. Licentia poetarum  keleluasaan penyair, segala macam keistimewaan,pemakaian bahasa, perhiasan dll.  Retorika seringkali menjadi sitem normative atau preskriptif, yaitu menentukan norma-norma yang harus di terapkan dalam pemakaian bahasa yang baik dan indah.
Pada jaman modern stilistik seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika  tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa. Pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian  bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri kha seorang penulis, aliran sastra dll. Ilmu gaya bahasa berhasil menentukan  secara cukup tegas,misalnya, pemakaian bahasa seorang penyair atau kelompok penyair.  Stilisti berusaha dan berhasil menetapkan  keistimewaan pemakaian bahasa secara insidental.

2.2.    Fungsi Bahasa yang Disebut Puitik dalam Teori Jakobson
Dalam bab 2 sudah diuraikan bahwa Jakobson dalam model semiotik tentang pemakaian bahasa membedakan  enam fungsi bahasa, satu diantaranya adalah fungsi puitik.jakobson menjelaskan pula fungsi itu tidak biasa terdapat secara terisolasi; dalam pemakaian bahasa manapun  juga satu diantara enam fungsi itu dominan. Tetapi fungsi-fungsi lainpun selalu hadir,secara sampingan. Misalnya kalau terpijak paku saya lalu menjerit “aduh!” mungkin sekali fungsi yang dominan ialah ekspresif atau emotif, menurut istilah jakobson, mengungkapkan rasa sakit, namun adapula fungsi  fatik dalam artian bahwa saya mangadakan  situasi komunikatif  dengan barangsiapa yang kebetulan hadir, fungsi konatif, appeal  ada pula, yaitu saya juga minta perhatian,  atau minta tolong atau mengharapkan rasa sayang dari orang tadi.
Demikanlah dalam pusi (dan sastra umumnya, tetapi Jokobson khususnya membicarakan  puisi sebagai bentuk sastra yang paling khas  dan tipikal) fungsi puitiklah yang dominan. Dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu yang penting tetapi kata pemakaian  bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi. Terutama acuan yang pada prinsipnya  menunjuk pada sesuatu  diluar ungkapan bahasa itu, dalam puisi harus kita ambil dan bina atas dasar kata massage itu saja, misalnya:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku disini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari mengacu pada pembicara, pemakai bahasa itu  yaitu Chairil Anwar, malainkan pada seorang yang ke-aku-annya kita jabarkan  atas bahan sajak ini sendiri. bedasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa Indonesia lepas dari acuan yang konkrit dalam kenyataan (realitas). Demikian pula dengan  binatang, yang dipakai secara metafora,dengan jalang dan dengan sagala macam gejala lain yang kita temui dalam bahasa sajak ini; rima, irama, dll. Oleh karena tidak ada acuan diluar sajak itu yang diketahui  dan disetujui baik oleh pengirim maupun oleh  penerima  pesan (dengan kata lain oleh dominanya fungsi puitik terhadap fungsi referensial), maka puisi mungkin sekali menjadi ambigu,bemakna ganda.
Jokobson kemudian menguraikan: prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi. Dengan rumusan yang cukup terkenal dikatakannya “The poetic function projects the principle of equivalence from the axis of selection into the axis of combination”. (Jokobson 1968:358: fungsi poetic memproyeksikan prinsip ekuivalen dari poros seleksi parataksis, juga boleh disebut paradigmatik, ke poros kombinasi, sintaksis).
Contoh: Plett (1975:129 berdasarkan Wunderlich).  Dalam ungkapan” Horrible Harry!”, pemakai bahasa yang menekan kan fungsi puitik memilih kata horrible diantara sejumlah kata sinonim, misalnya dreadful,terrible,frightful, disgusting, karena adanya ekuivalensi tertentu antara  horrible dengan harry, ekuivalensi bunyi yang biasa disebut aliterasi. Secara skema hal ini dapat digambrkan sebagai berikut :
                        Dreadful
                        Terrible
                        Frightful
                        Disgusting
                        Horrible                                   Harry               poros sintaktik
                        Poros paraktaktik
 Inilah prinip dasar bahasa putik menurut Jakobson.    
2.3.    Penerapan dan Penggarapan Teori Jakobson
Demikian Jakobson dalam banyak studi khas yang mengandung analisis sajak tertentu memperlihatkan apa yang dimaksudkannya dengan prinsip ekuivalensi. Contoh yang terkenal dalam hubungan ini adalah tulisan Jakobson bersama dengan Claude Levi Strauss, seorang antropolog yang terkenal; di dalamnya mereka mengupas sebuah sajak Charles Baudelaire yang berjudul Les Chats (1962).
Dalam tulisan ini sajak tersebut dikupas secara sangat mendetail dengan menunjukkan segala macam ekuivalensi yang terdapat di dalamnya, ekuivalensi bunyi, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan ekuivalensi semantik yang memang berlimpah-limpah dalam sajak tersebut. Kupasan ini merupakan contoh yang sangat baik dan mengesankan tentang apa yang disebut Jakobson the grammar of poetry (Jakobson 1968).
Prinsip ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Disini setiap ulangan konsep tatabahasa yang sama yang dapat diamati, menjadi sarana puisi yang tepat guna.Setiap deskripsi yang tak berprasangka, hati-hati dan menyeluruh, tentang seleksi, pembagian dan keterjalinan berbagai kategori morfologis dan konstruksi sintaksis dalam sajak tertentu mengejutkan si peneliti dengan simetri dan anti simetri yang menarik, struktur yang seimbang, akumulasi yang tepat dari bentuk yang sejajar dan pertentangan yang menonjol, akhirnya dengan pembatasan yang cukup ketat dalam repertoar konstituen morfologis dan sintaksis yang terpakai dalam sajak itu, penyingkiran yang dari segi lain memungkinkan kita untuk mengikuti keterjalinan yang mempesona antara konstituen yang terlaksana. (Jakobson 1968: 602-3).
Perlu dijelaskan sembagai tambahan hal yang ditekankan Jakobson bahwa sebagai variasi terhadap ekuivalensi justru juga sering kali dipakai penyimpangan dari ekuivalensi dan disebut antisimetri, misalnya penyimpangan dari rima atau matra yang diharapkan, yang justru memperkuat efek estetik; disinipun ketegangan antara aturan dan inovasi, antara convention dan invention memainkan peranan yang penting.
Demikian Jakobson mengembangkan teori tentang kekhasan fungi puitik dan prinsip yang mendasari puisi, yang sekaligus menjadi kerangka analisis structural sebuah karya sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan peneliti dari berbagai mazhab atau aliran structural. Karya sastra dianggap sebagai struktur mandiri yang dapat dan harus dianalisis dalam kebulatannya sebagai struktur kebahasaan, tetapi lepas dari acuan pada kenyataan, realitas diluar sajak itu. Sudah tentu Jakobson sendiri tidak pernah lupa bahwa walaupun fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra, namun tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi; dan dalam publikasi lain dalam kerangka yang berbeda, Jakobson menunjukkan relevansi sastra dari segi kemasyarakatan.

2.4.    Kritik Riffaterre atas Pandangan Jakobson
Namun begitu, dan walaupun hasil analisis Jakobson dan kawan-kawannya sering gilang-gemilang, kritik terhadap pendekatan strukturalis yang khusus bersifat linguistic, tak kurang sengitnya. Kritik itu datang dari berbagai pihak, dan bermacam-macamlah sifatnya pan pendekatannya; seringkali dikemukakan bahwa Jakobson hanya memperhatikan aspek linguistic dalam artian yang terbatas saja, dengan mengabaikan aspek-aspek lain: aspek pragmatic dan ekspresif (jadi peranan pembaca dan penulis yang boleh ditiadakan), sedangkan aspek referensial pun menurut beberapa pengkritik oleh Jakobson sangat dianggap enteng. Terutama kritik terakhir ini makin keras, sebab menurut anggapan ini pendekatan Jakobson mengakibatkan penghilangan relevansi sosial karya sastra, dan sastra menjadi sesuatu yang tergantung di awang-awang. Tetapi disini perlu kita perhatikan dua macam kritik yang lebih langsung berhubungan dengan masalah bahasa puisi sebagai bahasa yang khas.
Pertama-tama patut dibicarakan Michael Riffaterre. Dia tidak melawan prinsip strukturalisme sendiri, tetapi dia secara sangat peda mengecam analisi sajak Les Chats seperti diberikan oleh Jakobson dan Levi-Strauss yang dianggapnya penerapan prinsip strukturalisme yang tidak tepat. Riffaterre sendiri adalah guru besar sastra Perancis Columbia University di New York dan dalam karangan yang cukup panjang diberikannya sebuah analisi alternative mengenai sajak yang sama (Riffaterra 1966).
Dalam bahasa itu Riffaterra mengemukakan pendapat bahwa bukan linguislah yang menentukan apa yang relevan dalam sebuah sajak, betapapun halusnya analisi linguistic yang diberikannya. Yang menentukan makna sebuah sajak ialah pembacanya; berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca puisi, dengan segala kemampuan dan pengetahuannya dialah yang dapat menetukan apa yang relevan, dan mempunyai fungsi puitik dalam sajak. Analisis linguistic pada satu pihak tidak cukup dan pada batas lain melampaui batas kemampuanseorang pembaca.
Sajak adalah lebih dari struktur tatabahasa saja tetapi “no grammatical analysis of a poem can give us more than the grammar of the poem”. RIffaterra menonjolkan sajak sebagai sarana komunikasi, yang berfungsi dalam konteks stilistik (istilah RIffaterra) yang sama dengan konteks harapan pembaca. Harapan itu ditentukan oleh segala sesuatu yang pernah dibaca oleh pembaca itu, sehingga sajak mendapat makna dalam konteks keseluruhan puisi Perancis yang ditulis sebelumnya (dalam hal ini sebelum sajak Baudelaire yang bersangkutan).
Peneliti harus membina semacam superreader, sebagai sarana pengupasan: superreader adalah gabungan segala response terhadap sajak yang dapat dikumpulkan, sejauh response itu dilepaskan dari unsure subyektif di luar tindak komunikasi (1966: 203). Riffaterra mengajukan pendekatan yang bersifat semiotic, jadi yang berarti antara lain bahwa pertentangan antara meaning (arti) dan significance (makna) memainkan peranan yang sangat penting, dalam membaca puisi meaning yang kita berikan pada kata harus sesuai dengan mimetic atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance berdasarkan penafsiran pertentangan dengan atau penyimpangan dari arti mimetic yang kita temukan, antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.
Sebab “a poem says one thing and means another” (Riffaterra 1978: 1); kata-kata itu dalam konteks sajak makna, justru kontras dengan arti biasa. Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara arti mimetic unsure bahasa dan makna semiotiknya. Menurut Riffaterra hal itulah yang ditiadakan atau tidak ditonjolkan dalam analisis seperti disajikan oleh Jakobson. Teori Riffaterra kemudian dibulatkannya secara sistimatik dalam buku Semiotics of Poetry (1978) yang sangat mengesankan. Teori Riffaterra oleh Plett (1975: 134) bukan tanpa alasan disebut “eine pragmatische Variante des literature-immanenten Strukturalismus” (varian pragmatic dari strukturalisme yang imanen dalam sastra itu).
2.5.    Kritik Sosiologis Terhadap Teori Jakobson: Mary Louis Pratt.
Kritik lain yang  tak kurang sengit dan mendasar terhadap Jakobson dan semua aliran strukturalis yang menonjolkan fungsi puitik  sebagai ciri khas dengan segala konsekuensinya untuk analisis struktur, diajukan dari pihak lain yaitu dari segi sosiolinguistik. Salah satu contoh disini membicarakan secara singkat pemikiran ahli bahasa Amerika Serikat yang bernama Mary Louis Pratt. Judul bukunya menjelaskan latar belakang  pendekatanya: Toward a Speech Act Theory  of  Literary Discourse (1977). Tuntutan dasar yang diajarkan oleh buku ini: “literary must be viewed as a use rather than a kind of language” (wacana sastra harus dipandang  sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu).
Titik loncat uraiannya, dalam bab kedua bukunya, adalah hasil penelitian Labov, ahli sosiolinguistik yang tenar, khusunya mengenai yang disebut natural narrative, narativ alamiah Labov pernah memberi kupasan yang panjang lebar dari ujaran seseorang sambil omong-omongan secara alamiah dengan dibumbuhi dengan bermacam komentar dan selingan. Dari analisi tersebut dapat dijelaskan bahwa segala ciri yang biasanya dianggap khas terhadap karya sastra terdapat natural narrative yang direkam  dalam situasi ujaran alamiah: koherensi, struktur naratif, point of view, pemakaian unsur bahasa yang khas. Sebagai salah satu contoh naratif alamiah tidak berarti apa-apa, baik secara prinsip maupun secara faktual dan bahasa sehari-hari, segala unsur khas yang terdapat dalam naratif tadi dapat ditemukan pula dalam pemakaian bahasa yang normal. Kesimpilannya: literariness tidak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa.
Akibatnya dalam pandangan Pratt, untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra: “The point of depature gets shifted from the massage...to the addresser, the addressee, and the context” (halaman 74), jadi titik tolak dari penelitian ilmiah bergeser pada pesan kepada pengirim, enerimaan dan konteks; demikieanlah estetika bahasa dikembalikan ketataran yang layak. “there is no such thing as poetic language, there are only poems” (tidak ada sesuatu sepperti bahasa puitik, yang ada hanyalah sajak) (halam 78 kutipan dri Handricks).
Orang dari aliran aliran formalis dan strukturalis tidak suka akan pendekatan dan kesimpulan ini, kata Pratt; mereka suka melepaskan teks kesastraan dari pengarang dan konteksnya, dan dengan demikian menjadilah relevansinya untuk kehidupan kemasyarakatan; tidak seara kebetulanlah ada hubungan pendekatan strukturalis dan formalis dengan art forart’s sake (seni untuk seni), teori Pratt yang harus ditempatkan dalam perkembangan linguistik yang disebut speech act theory dan discourse anlysis, ingin mengambalikan ilmu sastra kepada masyarakat, tempatnya yang wajar:”a socially based, use-oriented linguistics is a pre-requisite toward sealing the breach between formal and sociological approaches to literature (ilmu bahasa yang berdasakan sosial dan yang terarah kepemakaian merupakan prasarana untuk menutup pecahan antara pendekatan sastra yang formal dan yang sosiologik, halaman XIX).
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru (speech atr theori) ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahasa dalam situasi tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan non-verbal (bukan bahasa) berhasil tidaknya pemakaian bahasa sebagai sarana komunikasi. Makna sebuah karya sastra baru dapat kita pahami sebab kita tahu sebelumnya bahwa karya itu adalah karya sastra yang berdasarkan konvensi dan aturan tertentu. “Clearly, it is the reader the massage in a literary speech situation, not  the massage that focuses on in self,” katanya, dan dengan demikian dia eksplisit dan tugas menentang pendirian Jakobson (jelaslah, yang memusatkan perhatian pada pesan situasi ujaran kesastraan ialah si pembaca, bukan pesan itu sendiri, halaman 88).
2.6.    Teori Sastra Pratt
Dalam bukunya Pratt bermaksud meletakkan dasaruntuk “context dependent theory of literature”, sebuah teori sastra yang tergantung pada kontek. Yang dimaksud dengan konteks adalah keadaan sosial artian yang luas, yang mengitari dan memberi tumpuan pada tindak ujaran. Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam komunikasi kesastraan:
a.              Pembaca telah menerima peranan sebagai audience dalam situasi menaggapi pesan sastra; misalnya hak jawab (yang normal dalam komunikasi sehari-hari). Peran audience tidak aktif dalam komunikasi lewat suara, bukan bagian khas dari retorika tulisan rekaan (fiction); peran tersebut merupakan situasi yang lebih umum.
b.             Konvensi kedua yang sangat penting disebut Pratt confention of definitiveness, pre-paration and pre-selection : maksudnya adalah pembaca yang mulai membaca karya sastra telah  tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan. Untuk membuat bacaan tersebut membutuhkan proses penyediaan, penyaringan, pengujian dan pemantapan dengan jaminan nilai, sesuai dengan nilai sastra konvensionalyang berlaku dalam masyarakat, atau dalam kelmpok tertentu dalam masyarakat.
c.              Pratt juga membicarakan panjang lebar tentang ciri-ciri krya sastra yang disebut tellability ;istilah itu bersama, tetapi juga bertentangan, dengan assertability. Assertion adalah pernyataan yang dipakai seseorang sebagai ungkapan yang ditujukan kepada lawan bicaranya dengan maksud membujuk agar lawan bicara mempercayai dan mengetahui sesuatu. Assertability sifat sebuah pesan ynag dianggap menarik, relevan untk disampaikan kepada lawan bicaradengan harapan dan dia bersedia mengatahui dan mempercayainya.
Tellability itu juga menjadi ciri khas sastra walaupun secara ekslusif, dengan dua sifatnya yang khas, yang justru dalam sastra sangat sering digunakan dan dimanfaatkan secara special: detachability, yaitu mudah dilepaskan dari konteks ujaran yang langsung (the immediate speech context) dan susceptibility  to elaboration (rentan untuk diperluas). Berdasarkan pendekatan ini Pratt dengan panjang lebar membahas konvensi-konvensi khas yang berlaku atau diterapkan dalam hal ungkapan yang disebut rekaan. Konvensi yang secara istimewa dapat dipergunakan, dimainkan, diberi fungsi yang khas dalam karya sastra.
Oleh karena itu kita akan tahu bahwa situasi karya rekaan dapat dipertentangkan karya bahasa lain, karena kita tahu syarat-syarat dan sifat-sifatnya sebagai karya rekaan, kita berhasil membacanya dan menafsirkanya secara efektif. Konvensi yang sederhana misalnya : kita tahu bahwa kita harus membedakan antara peran juru kisah (narator) dalam roman dan peran tokok-tokoh yang berbicara, misalnya dalam dialog. Dalam roman tradisional mau tak mau rekaan yang kita hadapi disamakan dengan situasi yang mungkin pernah dialamidalam kenyataan oleh karena itu sifat dan perilaku didasarkan dengan sifat manusia yang ada disekitar kita.
Tetapi didalam roman moder, nouveau roman Prancis misalnya, dan juga dalam roman Indonesia modern, misanya tulisan Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, dalam tulisan roman modern tersebut kita memberi jaminan bahwa yang kita baca harus mempunyai makna yang masuk akal.
Pratt menambahkan bahwa penyimpangan dan anehan yang terdapat dalam roman modern, baik di Barat maupun di Indonesia bukan hanya perkara permainan saja: bukan penyimpangan-penyimpangan itu: untuk penulis roman situasi ujaran yang normal tidak dapat disesuaikan dengan pandangan mereka terhadap pengalaman-pengalaman zaman sekarang ini. Penyimpangan mereka (roman zaman dulu) adalah protes, pernyataan perang terhadap roman biasa yang norma-normanya dianggap terlalu memantapkan establisment memapankan keadaan sosial yang ada. Dalam arti yang cukup lebih daripada hanya permainan formal saja roman modern harus disebut subversif, protes terhadap masyarakat modern yang dianggap buruk dan jahat. Untuk mengembangkan sastra modern kita harus menyadari latar sastra dari segi sosiolinguistik dimana sastra mengalami perkembangan ilmu yaitu ilmu sastra.
2.7.    Beberapa Kesimpulan
Dari berbagai segi, dan dengan alasan yang berbeda-beda  telah dibuktikan secara cukup meyakinkan bahwa fungsi puitik bahasa sendiri  tidak cukup untuk membuktikan sastra sebagai gejala kemasyarakatan dan sebagai cara memakai bahasa yang istimewa.
Culler, (1975:116) dalam bukunya yang berjudul Structuralist poetics mengatakan “tuturan yang  hanya mempunyai arti dalam sangkutannya dengan sistem konvensi yang di kuasai oleh pembaca; dia memakai istilah literary competence, yang dijelaskannya sebagai “a seet of  conventions for reading letarary texts” (seperangkat konvensi untuk membaca teks kesastraan,118). Sastra ialah yang dalam masyrakat tertenu dianggap sastra sesuai dngan konvensi yang pada waktu itu berlaku  dalam masyarakat itu; konvensi itu bermacam-macam sifatnya; ada tyang pragmatik, tentang peran pembaca, ada yang ekspresif tentang peran penulis, adapula yang mimetik yaitu hubungan sastra dengan kenyataan .
Fungsi puitik Jokobson tidak memberi kemungkinan untuk membatasi karya sastra terhadap tulisan atau ungkapan lain, tidak merupakan cirri distinktif sastra terhadap bukan sastra. Pendekatan Jokobson memberi kemungkinan untuk meneliti kekhasan pemakaian bahasa dalam karya-karya yang telah terbuti sifat kesastraannya  dan untuk merincikan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kebahasaan  yang dalam masyarakat itu berlaku untuk sastra. Tidak ada hanya satu deefinisi universal saja tentang sastra. Sastra sebagai gejala kemasyarakatan dapat dikatakan sebagai gejala universal, tidak ada masyarakat manusia tanpa sastra; tetapi aktualisasi, konkretisasi  gejala sastra dalam masyarakat yang berainan memperlihatkan perbedaan  dan berbagai ciri-ciri khas.











III.          PENUTUP

3.1.       Simpulan
Definisi tentang sastra tidak hanya satu yang universal sebab suatu karya akan disebut karya sastra dalam masyarakat tertentu berdasarkan konvensi-konvensi yang dalam masyarakat itu berlaku untuk sastra.

3.2.       Saran
Bagi pembaca diharapkan setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan karya sastra dan bahasanya.
                                   

1 komentar:

  1. Merit Casino in CT: How to use it and earn
    Merit Casino in CT: How to worrione use it and earn money 메리트카지노 in CT. febcasino

    BalasHapus